Selasa, 15 November 2011

RELASI AGAMA DAN NEGARA (STUDI TERHADAP PIAGAM MADINAH)

RELASI AGAMA DAN NEGARA
(STUDI TERHADAP PIAGAM MADINAH)

A. Latar Belakang
Relasi Agama dan Negara ternyata sudah lahir sejak masa Nabi Muhammad Saw hal ini tercermin dalam sejarah Islam. Dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad beliau telah mengajarkan pentingnya kesepakatan atau perjanjian diantara masyarakat agar bias hidup berdampingan secara damai. Perjanjian tersebut salah satunya dicontohkan dalam Piagam Madinah.
Piagam Madinah yang di dalamnya mengandung kesepakatan bersama memberikan kontribusi yang luar biasa pada saat itu. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa Piagam ini merupakan contoh sebuah Undang-Undang atau konstitusi suatu negara. Kemudian Nabi Muhammad ditempatkan menjadi seorang pemimpin masyarakat dan negara. Dalam mengambil setiap kebijakan negara beliau pasti mempertimbangkan segala bentuk resikonya yang sejalan dengan misi agama Islam. Untuk lebih lanjutnya mari kita bahas dan analisis bersama relasi antara agama dan negara dengan melakukan studi pada Piagam Madinah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Sejarah lahirnya, isi dan konsekuensi Piagam Madinah bagi masyarakat Madinah pada masa itu?
2. Bagaimanakah Relevansi Agama dan negara kaitanya dengan Piagam Madinah?
3. Bagaimana Kontribusi Piagam Madinah terhadap Pemikiran Politik Islam?
C. Pembahasan
1. Piagam Madinah
a. Sejarah lahirnya Piagam Madinah
Hijrah Nabi Muhammad Muhammad merupakan awal dari mulainya periode kedua dari masa kerasulan beliau, yaitu periode Madinah atau Al-`Ahd al-Madani yang telah didahului dengan periode Makkah (Al-`Ahad al-Makki) . Dakwah Nabi di Mekkah dapat dikatakan kurang berhasil. Sampai kepada tahun kesepuluh kenabian baru sedikit orang yang menyatakan diri masuk Islam. Pengejaran dan penyiksaan terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya oleh orang-orang Quraisy merupakan salah satu factor yang mendorong Nabi untuk melakukan hijrah. Dalam menghadapi godaan dan siksaan dari kaum Quraisy Nabi dikuatkan dengan Firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 34, yang berbunyi :

وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ {فصّلت : 34}
Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fushshilat : 34).

Madinah adalah sebuah kota kurang lebih berjarak 400 kilometer di sebelah utara kota Makkah. Kota Yatsrib mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Nabi. Salah satunya adalah Kakek Nabi Abdul Muthalib, lahir dan dibesarkan di Madinah ini sebelum akhirnya menetap di Makkah. Ayah Rasulullah, Abdullah ibn Abdul Muthalib wafat dan dimakamkan di Madinah. Nabi pernah ziarah ke sana bersama ibundanya. Ibunda Nabi wafat dalam perjalanan pulang dari ziarah tersebut.
Sebelum Nabi hijrah beliau bertemu dengan 12 penduduk Madinah mereka menyatakan tunduk dan taat kepada agama Islam dan menerima standar moralitas dasar masyarakat yang mulia, atau sering disebut dengan Baitul Aqabah I. Baitul Aqabah II dilakukan satu tahun kemudian pada saat yang sama yaitu musim haji Nabi bertemu dengan 73 laki-laki dan 2 perempuan. Penduduk yang melakukan Bai`ah inilah yang kemudian disebut dengan kamum ansar (penolong).
Penduduk kota Yatsrib terdiri dari beberapa suku Arab dan Yahudi. Suku Yahudi terdiri Bani Nadzir, Bani Qainuna, dan Bani Quraidzah yang mempunyai kitab suci sendiri, lebih terpelajar dibandingkan penduduk Yatsrib yang lain. Sedangkan suku Arabnya terdiri dari suku Aus, dan Khazraj, di mana kedua suku itu selalu bertempur dengan sengitnya dan sukar untuk didamaikan.
Dan karena perbedaan lingkungan hidup, maka kaum muslimin Anshar dan Muhajirin mempunyai latar belakang kultur dan pemikiran yang sangat berbeda. Hal ini masih di tambah lagi dengan permusuhan sengit yang telah terjadi selama 120 tahun lebih antara dua suku Anshar, yaitu Bani Aus dan Bani Khazraj. Sangat sulit bagi Nabi mengambil jalan tengah untuk mempersatukan mereka dalam kehidupan religius dan politik secara damai.
Selama beberapa minggu di Madinah, Rasul menelaah situasi kota Madinah dengan mempelajari keadaan politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Beliau berusaha mencari jalan bagaimana agar penduduk asli dan kaum muhajirin dapat hidup berdampingan dengan aman. Untuk mengatasi kesulitan yang pertama dan kedua Nabi Muhammad membuat suatu perjanjian dengan penduduk Madinah baik Muslimin, Yahudi ataupun musyrikin.
Dan perjanjian tersebut dikenal dengan istilah Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah atau Al – Dustur al-Madinah.
b. Analisis Isi Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan perjanjian yang disepakati oleh masyarakat Madinah yang digunakan untuk mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menelaah dan menganalisis atas piagam itu agar kita dapat mengkaji ulang hubungan antara Islam dengan ketatanegaraan . Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai kandungan isi piagam tersebut.
Dalam buku karya W. Montgomery Watt diterjemahkan oleh Hamid Fahmi Zarkasyi dan Taufiq Ibnu Syam yang berjudul asli “Islamic Political Thought” menjelaskan bahwa point-point penting isi dari Piagam Madinah adalah sebagai berikut:
1) Orang-orang beriman baik dari suku apapun merupakan suatu komunitas (ummah).
2) Setiap suku atau bagian dari suku masyarakat bertanggung jawab terhadap harta rampasan atau uang tebusan atas nama masing-masing anggotanya (pasal 2-11)
3) Masyarakat diharapkan menunjukan kekompakan dalam mengahadapi tindakan kriminal, dan tidak membantu tindakan kriminal (pasal 13,21)
4) Masyarakat diharapkan untuk menunjukan ras kekompakan yang penuh dalam menghadapi orang-orang yang tidak beriman, baik dalam situasi damai maupun situasi perang (pasal 14, 17, 19, 44), solidaritas dalam pemberian perlindungan tetangga (pasal 15)
5) Orang yahudi yang berasal dari berbagai kelompok adalah milik masyarakat dan mereka harus menjaga agama mereka sendiri, mereka dan orang Islam harus saling membantu(termasuk bantuan militer) (pasal 24-35, 37, 38, 46)
Menurut J. Sayuthi Pulungan prinsip-prinsip hak asasi dan politik pemerintahan dalam Piagam Madinah dikaitkan dengan Al-Qur`an adalah: 1. Prinsip Umat, 2. Prinsip persatuan dan persudaraan, 3. Prinsip persamaan, 4. Prinsip kebebasan, 5. Prinsip hubungan antarpemeluk agama, 6. Prinsip pertahanan, 7. Prinsip hidup bertetangga, 8. Prinsip tolong-menolong dan membela yang lemah dan teraniaya, 9. Prinsip perdamaian, 10. Prinsip musyawarah, 11. Prinsip keadilan, 12. Prinsip pelaksanaan hukum, 13. Prinsip kepemimpinan, 14. Prinsip ketakwaan, amar-ma1`ruf nahi munkar.
Berdasarkan beberapa kesimpulan oleh para ahli tersebut, penulis akan mencoba menganalisa isi Piagam Madinah tersebut yang terdiri dari 47 pasal. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai isi piagam tersebut maka penulis mencantumksan isinya dan kemudian dianalisa langsung per-pasal. Menurut hemat penulis dari 47 pasal tersebut, penulis merumuskan point-point penting yang terdapat dalam piagam tersebut yaitu:
1. Muqodimah (pembukaan)
Piagam dimulai dengan Muqodimah (pembukaan) teksnya yaitu sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim
Ini adalah kitab (ketentuan tertulis) dari Muhammad Nabi, Nabi SAW antara orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari Quraisy dan warga Yastrib yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri dengan mereka, dan berjuang bersama mereka.

Kalimat ini merupakan pembukaan karena menurut penulis disitu hanya menyebutkan pengertian atau maksud dan siapa yang terlibat dalam perjanjian tersebut belum masuk pada pasal yang mengandung isi perjanjian yang disepakati.
2. Pasal 1-11 Pembentukan umat dan kebebasan beragama, kurang lebih teksnya sebagai berikut:
1. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu utuh, tidak termasuk golongan lain.
2. Golongan Muhajirin dari warga Quraisy dengan tetap mengikuti adat kebiasaan baik yang beraku di kalangan mereka, mereka bersama-sam a menerima dan membayar tebusan darah mereka, dan menebus tawanan mereka dengan cara yang makruf dan adil di antara mereka.
3. Bani `Auf dengan menurut adat kebiasaan baik mereka yang beraku, mereka bersama-sam a menerima dan membayar tebusan darah mereka seperti semula, dan setiap golongan menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang makruf dan adil di antara orang-orang mukmin.

Pasal 4 sampai 10 isinya sama akan tetapi ditujukan pada golongan yang berbeda yaitu pasal 4. Bani Al-bin Al-Khazraj, 5. Bani Sa`idah, 6. Bani Jusyam, 7. Bani An-Najjar, 8. Bani `Amr bin `Auf, 9. Bani An-Nabit, 10. Bani Al-Aus.
Pada pasal 1 kata mereka menunjuk kepada semua penduduk Madinah yang menyepakati piagam ini. Pasal satu ini merupakan sebuah konsolidasi yang dilakukan Nabi Muhammad terhadap seluruh penduduk Madinah yang sebelumnya mereka tidak bisa bersatu. Umat yang satu disini berarti semua penduduk memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 2-10 adalah hak kebebasan yang diberikan kepada seluruh warga Madinah untuk bebas memiliki kepercayaannya masing-masing dan tidak memaksakan untuk memeluk Islam. Kebebasan mutlak untuk dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna menjamin keutuhan masyarakat yang pluralistik. Kebebasan-kebebasan tersebut yaitu kebebasan melakukan adat kebisaan yang baik, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hal, kebebasan dari rasa takut, dan kebebasan berpendapat. Sehingga semua warga tetap bisa berpegang teguh pada keyakinannya yang lama dengan damai tanpa adanya permusuhan.
3. Pasal 11-15 adalah Persatuan Seagama, berikut kutipan teks pasalnya:
11. Sesungguhnya orang-orang mukmin tidak boleh membiarkan seorang diantara mereka menanggung beban utang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi membantunya dengan cara yang baik dalam menebus tawanan atau membayar diyat.
12. Bahwa seorang mukmin tidak boleh persekutuan atau aliansi dengan keluarga mukmin tanpa persetujuan yang lainnya.
13. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus melawan orang yang memberontak diantara mereka, atau orang yang bersikap zalim atau berbuat dosa, atau melakukan permusuhan atau kerusakan di antara orang-orang mukmin, dan bahwa kekuatan mereka bersatu melawannya walaupun terhadap anak salah seorang dari mereka.
14. Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh membantu orang kafir untuk melawan orang mukmin.
15. Sesungguhnya jaminan (perlindungan ) Allah hanya satu, Allah melindungi orang yang lemah diantara mereka, dan sesungguhnya orang-orang mukmin sebahagian mereka adalah penolong atau pembela terhadap sebagian bukan golongan lain.

Pasal 11 sampai pasal 15 ini membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang mukmin sendiri. Hal tersebut mecerminkan persatuan seagama didalam orang-orang mukmin.
4. Pasal 16-24 Persatuan segenap warga Madinah, berikut kutipan teksnya:
16. Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita behak mendapat pertolongan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada yang menolong musuh mereka.
17. Sesungguhnya perdamaian orang-orang mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
18. Sesungguhnya setiap pasukan yang berperang bersama kita satu sama lain harus saling bahu membahu.
19. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu sebagian membela sebagian yang lain dalam peperangan di jalan Allah.
20. a. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa selalu berpedoman pada petunjuk yang terbaik dan paling lurus.
b. Sesungguhnya orang musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak campur tangan terhadap lainnya yang melawan orang mukmin.
21. Sesungguhnya barang siapa membunuh seorang mukmin dengan cukup bukti maka sesungguhnya ia harus dihukum bunuh dg sebab perbuatannya itu, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat) dan seluruh orang-orang mukmin bersatu untuk menghukumnya.
22. Sesungguhnya tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui isi shahifat ini dan beriman kepada Allah dan Hari akhir menolong pelaku kejahatan dan tidak pula membelanya. Siapa yang menolong atau membelannya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan dan amarah Allah di Hari kiamat, dan tidak ada sesuatu penyesalan dan tebusan yang dapat diterima daripadanya.
23. Sesungguhnya apabila kamu berbeda (pendapat) mengenai sesuatu, maka dasar penyelesaiannya (menurut ketentuan) Allah dan Muhammad.
24. Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang bekerjasama dalam menanggung pembiayaan selama mereka mengadakan peperangan bersama.

Dalam piagam ini juga terdapat ketetapan – ketetapan yang mengatur hubungan sosial dan politik, pertahanan dan keamanan, belanja peperangan. Hal ini tercermin dalam pasal 16-24 yang ketentuan-ketentuan tersebut sebagai upaya untuk persatuan segenap warga Madinah. Semua warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan agama dan suku.
5. Pasal 25-35 Golongan Minoritas
25. Sesungguhnya Yahudi Bani `Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau khianat, karena sesungguhnya orang-orang yang demikian hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya.

Pasal 26 sampai 35 mempunyai makna yang sama dengan pasal 25 hanya saja disebutkan satu persatu Bani-Bani yang ada di Madinah yaitu 26. Bani al-Najjar, 27. Bani Al-Harits, 28. Bani Sa`idat, 29. Bani Jusyam, 30. Bani al-Aus, 31. Bani Tsa`labat, 32. Jafnat keluarga Tsa`labat, 33. Bani Syuthaibat, 34. Sekutu-sekutu Tsa`labat, 35. Orang-orang dekat atau kepercayaan kamu Yahudi.
Komposisi masyarakat Madinah begitu kompleks dan pluralistik, apabila hal tersebut tidak di perhatikan dan tidak ada perlakuan yang sama kepada setiap suku-suku yang ada hal ini akan menimbulkan permasalahan dalam masyarakat tersebut. Dalam piagam ini semua Bani-bani yang hidup di Madinah mempunyai hak dan perlakuan yang sama tidak ada diskriminasi terhadap golongan yang minoritas.
6. Pasal 36-38 Tugas warga Negara
36. a. Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka (penduduk Madinah) dibenarkan keluar kecuali dengan izin Muhammad.
b. Sesungguhnya tidak dihalangi seorang menuntut haknya (balas) karena dilukai, dan siap yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan kejahatan atas diri dan keluarganya, kecuali teraniaya. Sesungguhnya Allah memandang baik (ketentuan ini)
37. a.Sesungguhnya kaum Yahudi wajib menanggung nafkah mereka dan orang-orang mukmin wajib menanggung nafkah mereka sendiri. Tapi, di antara mereka harus ada kerja sama atau tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang warga shahifat ini, dan mereka saling member saran dan nasihat dan berbuat kebaikan, bukan perbuatan dosa.
b. Sesungguhnya seseorang tidak ikut menanggung kesalahan sekutunya, dan pertolongan atau pembelaan diberikan kepada orang teraniaya.
38. Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang mukmin bekerjasama menanggung pembiayaan selama mereka menghadapi peperangan bersama.

Setiap warga memiliki tugas dan kewjiban yang sama sebagai anggota masyarakat. Dari isi pasal 36, 37, 38 tersebut disebutkan bagaimanakah tugas yang harus dilakukan sebagai penduduk Madinah. Adanya ketetapan tugas ini untuk menjamin serta melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam pemerintahan di Madinah.
7. Pasal 39-41 Melindungi Negara
39. Sesungguhnya Yastrib dan lembahnya suci bagi warga shahifat ini.
40. Sesungguhnya tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh dimudarati dan diperlakukan secara jahat.
41. Sesungguhnya tetangga wanita tidak boleh dilindungi kecuali izin keluarganya .

Sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang adil damai dan rukun maka semua anggota masyarakat harus menjaga dan melindungi negaranya.
8. Pasal 42-44 Pimpinan Negara
42. Sesungguhnya bila diantara pendukung shahifat ini terjadi suatu peristiwa atau perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya atau kerusakan, maka penyelesainnya (menurut) ketentuan Allah dan Muhammad saw, sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik isi shahifat ini.
43. Sesungguhnya tidak boleh diberikan perlindungan kepada Quraisy dan tidak pula kepada orang yang membantunya
44. Sesungguhnya diantara mereka harus ada kerjasama, tolong menolong untuk menghadapi orang yang menyerang kota Yastrib.

Pentingnya adanya seorang pemimpin dalam sebuah komunitas, maka warga madinah mengakui bahwa Nabi Muhammad sebagai pimpinan mereka. Hal ini tercermin dari uraian pasal 42 tersebut diatas bahwa apabila terdapat perselisihan maka penyelesaiannya berdasarkan pada ketentuan Allah dan Muhammad. Ketentuan Allah ini adalah melalui Nabi Muhammad sebagai wakilnya di bumi.
9. pasal 45-46 Politik Perdamaian
45. a. Apabila mereka (pihak musuh) diajak untuk berdamai, mereka memenuhi ajakan damai dan melaksanakannya, maka sesungguhnya merek menerima perdamaian itu dan melaksanakannya, dan sesungguhnya apabila mereka (orang-orang) mukmin diajak berdamai seperti itu maka sesungguhnya wajib bagi orang mukmin menerima ajakan damai itu, kecuali terhadap orang yang memerangi agama.
b. Sesungguhnya setiap orang mempunyai bagiannya masing-masing dari pihaknya sendiri.
46. Sesungguhnya kaum Yahudi al-Aus, sekutu, dan diri mereka memperoleh hak dan kewajiban seperti apa yang diperoleh kelompok lain pendukung shahifat ini serta meperoleh perlakuan yang baik dari semua pemilik shahifat ini, sesungguhnya kebaikan berbeda dg kejahatan. Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik apa yang termuat dalam shahifat ini.

Mengingat kondisi masyarakat Madinah sebelum adanya Nabi Muhammad yang begitu akrab dengan peperangan maka penting adanya pasal yang mengatur mengenai upaya untuk perdamaian karena pada dasarnya itu yang menjadi keinginan seluruh warga Madinah. Sehingga dalam piagam tersebut juga dituliskan mengenai ketentuan perdamaian yang menjadi landasan bagi penduduk Madinah dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan sebelum berperang artinya sebagai upaya pencegahan.
10. Pasal 47 Penutup.
47. Sesungguhnya tidak ada orang akan melanggar ketentuan tertulis ini kalu bukan penghianat dan pelaku kejahatan. Siapa saja yang keluar dari kota Madinah dan atau tetap tinggal di dalamnya aman, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Sesungguhnya Allah pelindung bagi orang yang berbuat baik dan takwa dan Muhammad adalah rasulullah saw.

Berdasarkan uraian diatas mencerminkan bahwa Piagam Madinah bisa dikatakan sebagai sebuah Undang-undang atau konstitusi. Undang-undang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketentuan atau peraturan Negara, peraturan yang dibuat oleh orang atau badan yang berkuasa. Sehingga bisa dikatakan bahwa piagam ini tanpa disadari merupakan landasan utama terbentuknya Negara Madinah.
Dalam perjanjian itu ditetapkan tugas dan kewajiban Kaum Yahudi dan Musyrikin Madinah terhadap Daulah Islamiyah di samping mengakui kebebasan mereka beragama dan memiliki harta kekayaannya. Dokumen politik, ekonomi, sosial dan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Musyrikin, maupun Yahudinya.
Dalam implementasinya dari segi ekonomi dan sosial dinyatakan misanya bahwa orang kaya harus membantu dan membayar hutang orang miskin, kewajiban memelihara kehormatan.
c. Konsekuensi Piagam Madinah
Salah satu kekuatan negara terletak pada ideologinya , Piagam Madinah merupakan salah satu bentuk ideologi yang telah disepakati bersama antara kaum Muhajirin, Anshar dan Yahudi. Isi dari Piagam tersbut bukan semata-mata keinginan Nabi Muhammad sendiri tetapi merupakan analisis beliau terhadap permasalahan serta konflik yang terjadi di dalam masyarakat Madinah sebelum adanya Piagam tersebut. Dengan adanya piaga tersebut keadaaan masyarakat Madinah semakin membaik dan hubungan antar suku juga terjaga.
Nabi Muhammad datang dengan membawa perubahan. Nabi Muhammad meletakkan konsep ukhuwah serta melindungi semua warga masyarakat Madinah termasuk golongan minoritas. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama karena mereka adalah satu komunitas (ummah). Beliau mengajarkan penghapusan kelas antara orang kaya dengan orang miskin, golongan buruh dengan golongan juragan. Yang ada hanyalah hubungan persaudaraan, saling mengasihi dan menyantuni pada yang membutuhkan. Beliau telah dapat menciptakan jalinan yang suci dan murni dan telah berhasil mengikat suku Aus dan Khazraj dalam suatu hubungan cinta kasih dan persaudaraan.
Perjanjian ini sebenarnya tidak berlangsung lama, selang beberapa lama kemudian kaum Yahudi merasa tidak senang dan melanggar serta menghianati perjajian yang telah disepakati bersama. Sehingga kemudian terjadi perang antara kaum muslimin dengan kamum Yahudi.
2. Analisis Relevansi Agama dan Negara dalam Piagam Madinah
Agama dan negara memiliki hakikat yang berbeda, agama adalah kabar gembira dan peringatan (QS. Al-Baqarah : 119) sedangkan negara kekuasaan tertinggi setelah Tuhan dan memiliki kekuatan pemaksa (coercion). Dalam agama ada sistem dosa-pahala, surga-neraka, halal-haram. Konsep zakat dalah kewajiban agama sedangkan pajak adalah kewajiban terhadap negara. akan tetapi keduanya mempunyai relasi yang sangat kuat, Negara merupakan tempat pelaksanaan hukum-hukum syariat Islam. Sebab, Hukum-hukum Syari`at tersebut secara umum didasarkan pada pemikiran kesatuan ummat dan masalah-masalah sosial lainya.
Agama dan negara keduanya memang dilaksanakan dan dilakukan oleh manusia, dalam konteks agama manusia sebagai hamba dan dalam konteks negara manusia sebagai rakyat. Akan tetapi pluralisme agama dalam sebuah negara merupakan sesuatu hal yang lumrah. Apabila hal ini tidak disikapi secara bijak oleh negara dan agama itu sendiri akan menimbulkan pertentangan dan permusuhan antar agama dalam satu negara, sebagaimana kasus yang terjadi di Madinah sebelum adanya Islam.
Agama dan negara mempunyai tanggungjawab bagaimana mengatasi dan meminimalisir konflik-konflik tersebut. Sehingga, hal ini menuntut adanya sebuah konsensus dalam sebuah masyarakat negara supaya tercapai masyarakat negara yang damai. Konsensus dalam Islam telah dicontohkan Rosulullah salah satunya adalah dalam Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah Rosulullah mengajarkan konsep pluralisme positif. Yaitu pentingnya kesadaran masyarakat mengingat bahwa selain agama sendiri ada agama orang lain yang harus dihormati (pluralisme). Konsep positif bisa dicerminkan dengan salah satu sikap bahwa masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya. Agama Islam menjamin hak-hak masyarakat selain Islam untuk diberlakukan secara adil pada semua golongan.
Dalam surat al-Kafirun ayat 6 disebutkan:


“untukmu agamamu, untukku agamaku”
Relasi antara agama dan negara dalam Piagam Madinah merupakan gambaran yang nyata adanya hubungan yang simbiotik mutualistik antara agama dan Negara. Piagam Madinah berfungsi mengatur hidup masyarakat sebagai kolektivitas yang disebut negara, sehingga Piagam Madinah disini bisa dikatakan sebagai landasan atau Undang-undang suatu negara, dalam konteks ini negara yang dimaksud adalah Madinah. Sedangkan agama memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose). Tanpa tujuan kemasyarakatan yang diharapkan bersama yang nyata dan jelas, hidup masyarakat hanya akan berputar-putar pada pemikiran masing-masing dan akibatnya semua merasa paling hebat dan pantas memimpin dan tidak pernah menemukan konsep yang jelas untuk mendamaikan seluruh lapisan masyarakat yang plural.
Hubungan simbiotik kuasa antara agama dengan negara memperlihatkan semacam hubungan dalam pemberian legitimasi. Proses pemberian legitimasi bisa dari agama atas negara, bisa pula dari negara atas agama. Kita perhatikan dalam Piagam Madinah secara halus ada proses legitimasi pada agama atau kepercayaan agama lain. Kita melihat ada satu model di mana ada agama negara atau agama yang diakui negara diberi legitimasi, sementara itu tetap megakui pluralitas agama.
Pada Piagam madinah menunjukan hubungan agama dan negara yang bersifat dualistik, negara yaitu seluruh masyarakat Madinah memberikan legitimitas pada kepercayaan – kepercayaan yang ada, termasuk Islam, dan agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat memberikan legitimas pada negara. Negara tidak harus berbentuk negara Islam, asal tidak bertentangan dengan Islam.
Negara merupakan bagian dari agama, maka perlu ada negara yang formal. Akan tetapi negara tidak bisa diintervensi oleh agama. Dalam Piagam Madinah terdapat relasi yang unik antara agama dan negara dimana keduannya merupakan institusi yang berbeda tetapi memiliki relasi yang positif (mutualistik).
3. Kontribusi Piagam Madinah terhadap Pemikiran Politik Islam
Berdasarkan paparan di atas mengidentifikasikan bahwa antara agama dan negara ada relasi yang saling mendukung satu sama lain. Karena negara tidak bisa dipisahkan dari unsur politik, maka dari itu penulis ingin mencoba menganalisa pemikiran politik Islam yang ada dalam Piagam Madinah. Untuk bisa mengetahui dan menganalisis bagaimana kontribusi pemikiran politik Islam dari Piagam Madinah maka kita harus mengetahui hakikat pemikiran politik terlebih dahulu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pemikiran merupakan proses, cara, perbuatan memikir . Dalam beberapa istilah politik juga bisa disebut sebagai siyasat, menurut Ibnul al-Qayyim yang dinukilkan dari Ibnu `Aqil yang telah dikutip oleh J.Suyuthi Pulungan bahwa siyasat adalah:
“setiap langkah perbuatan yang membawa manusia dekat dengan kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan, walaupun Allah tidak menetapkan dan tidak mewahyukan”.

Pemikiran politik Islam bisa dikatakan sebagai cara berpikir mengenai langkah atau kebijakan yang bisa membawa manusia dalam kemaslahatan dan perdamaian berdasarkan asas-asas Islam. Dalam pembahasan ini penulis hanya fokus menganalisis bagaimana kontribusi pemikiran politik Islam dalam Piagam Madinah.
Piagam Madinah merupakan salah satu bukti bahwa dalam Islam telah mengajarkan sebuah konsensus dalam menyelesaikan konflik-konflik antar golongan dalam satu kelompok atau komunitas. Konsep yang ada dalam Piagam tersebut mengajarakan mengenai bagaimana seharusnya golongan-golongan yang berbeda bisa menjadi satu umat yang rukun dalam satu wilayah atau tatanan masyarakat. Untuk lebih mudah memahami apa yang diingikan penulis terkait kontribusi pemikiran politik Islam tersebut, penulis mencoba menjelaskan bagaimanakah kontribusinya dalam point-point dibawah ini:
a. Negosiasi dan Konsolidasi
Tokoh utama dalam Piagam Madinah tersebut adalah Rosulullah SWT. Seorang nabi yang cerdas dan amanah. Ide – ide pemikiran jernih beliau terkait siyasat untuk menyatukan masyarakat Madinah merupakan implementasi dari kecerdasan beliau dalam melakukan negosiasi sebagai upaya konsolidasi umat. Rasulullah mengorganisir dan mempersatukan umat dalam satu komunitas tanpa membedakan suku, ras, kelas dan kasta.
b. Konsensus
Dalam sebuah negara saat ini Konstitusi atau UU mutlak diperlukan, selain sebagai salah satu syarat terbentuknya negara hal ini juga merupakan aturan yang mengikat warga masyarakat agar berlaku sebagaimana yang diharapkan bersama. Piagam Madinah merupakan salah satu bentuk konsensus yang diajarkan Rosulullah.
c. Keadilan dan Toleransi
Keadilan dan toleransi merupakan tuntutan yang harus ada dalam kehidupan masyarakat, tanpa keduanya tatanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak akan terlaksana dengan baik. Sehingga pemimpin negara dituntut untuk bisa menerapkan politik tersebut terhadap masyarakatnya. Dalam Piagam Madinah telah jelas memberikan contoh adanya keadilan dan toleransi terutama bagi golongan minoritas dan kaum yahudi. Islam tidak berlaku semena-mena meskipun dalam komunitas yang mayoritas.
d. Konsep hak dan kewajiban
Sebagaimana diungkapkan diatas bahwa negara mempunyai kekuatan memaksa, tetapi negara juga harus memberikan hak-hak terhadap masyarakat. Dalam Piagam Madinah terdapat kewajiban umum yang harus dilakukan semua golongan dan memberikan hak kepada setiap golongan untuk bebas beragama.
e. Musyawarah dan hak mengeluarkan pendapat
Masyarakat sekarang lebih akrab menyapa musyawarah dengan istilah rapat. Musyawarah ini sudah menjadi kebutuhan dalam percaturan perpolitikan, bahkan dalam segala aspek kehidupan musyawawah selalu digunakan. Hal ini mengingat pentingnya musyawarah sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan point-point tersebut letak kontribusi Piagam Madinah terhadap pemikiran politik Islam sedikit tercover, meskipun belum bisa dikatakan komprehensif.
D. Kesimpulan dan Saran
Agama dan negara keduanya memiliki pedoman dalam mengatur manusia. Agama mempunyai kitab suci dan negara memiliku Undang-undang atau konstitusi. Dalam prakteknya Undang – undang dalam sebuah negara ternyata sejalan dengan makna dan kandungan yang ada dalam kitab suci dalam Islam jelas al-Qur`an. Kedua pedoman tersebut sama-sama mengatur tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan, dalam konteks ini tentunya tidak semua isi kitab suci demikian.
Dalam Piagam Madinah merupakan refleksi dari upaya agama dalam membentuk sebuah komunitas dan kemudian bisa menjadi konsep negara, meskipun tidak secara sengaja bahwa Piagam tersebut menjadi dasar sebuah negara Madinah pada masa itu. Paling tidak konsep dari Piagam tersebut bisa menjadi salah satu acuan dan contoh bagi negara Islam untuk membuat konsensus atau konstitusi sebagai pengikat masyarakatnya.
Tidak ada salahnya apabila kita mengambil hikmah yang baik dari adanya Piagam Madinah tersebut, kemudian kita terapkan misalnya dalam kelompok kita seperti dalam organisani.
E. Penutup
Demikian makalah pembanding ini penulis buat, penulis menyadari banyak kekurangan dari makalah ini. Untuk itu penulis mengaharapkan kritik serta saran yang konstruktif untuk kebaikan makalah tersebut. Terimakasih
DAFTAR PUSTAKA

al-Buthy, Muhammad Sa`id Ramadhan, 1995, Fiqhu `s-Sirah, Dirasat Manhajiah `Ilmiah Li Sirati `L-Musthafa `alaihi `sh-Shalatu wa `s-Slam, terjemahan Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Jakarta: Robbani Press, cet. 5.
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur-Rahman, 1997, Ar-Rahiqul Mahktum, Bahtsum Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, Terjemahan Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al-kAutsar.
Departemen Agama RI, 2009, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Edisi 4.
Hasjmy, 1975, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, cet. II.
Lapidus, Ira M., 1999, A History Of Islamic Societies, Terjemahan Ghufran A. Mas`adi, Jakarta: PT. Rajha Grafindo Persada.
Pulungan, J. Sayuthi, 1996,Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur`an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, Edisi I.
S. El-Wa, Mohamed, 1983, On The Political System Of Islamic State, terjemahan Anshori Thajib, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Watt, W. Montgery, 1987, Islamic Political Thought, Terjemahan Hamid Fahmi Zarkasyi, Jakarta: PT. Beunebi Cipta.
______________, 1977, Muhammad Prophet and Statesman, New York: Oxford.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar