Sabtu, 10 Juli 2010

(Abaikan informasi ini, jika kalian telah lulus SMU & tidak melanjutkan ke PT, telah lulus kuliah, tidak melanjutkan beasiswa/telah mengirim pengajuan perpanjangan beasiswa).

Dalam rangka melanjutkan Program Beasiswa YAAB-ORBIT periode 2009/2010 yang telah berakhir pada bulan Juni 2010, YAAB-ORBIT Pusat memberikan kesempatan bagi ANBIM YAAB-ORBIT untuk mengajukan perpanjangan beasiswa untuk periode 2010/2011.

Persyaratan perpanjangan beasiswa YAAB-ORBIT periode 2010/2011 adalah sbb:
1) Formulir yang telah diisi lengkap dan disyahkan/di-stempel oleh pihak sekolah/kampus (Bagi ANBIM SMU/Sederajat yang langsung melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi, formulir boleh tanpa disyahkan/di-stempel oleh pihak Perguruan Tinggi)
2) Surat keterangan tidak mampu minimal dari Rt/Rw (terbaru)
3) Slip gaji/pensiun TERBARU (jika orangtua PNS/Karyawan Swasta/buruh Pabrik) atau surat keterangan penghasilan orangtua (terbaru) yang diketahui oleh RT (jika orangtua buruh harian lepas/petani/wiraswasta dll).
4) Foto copy KTP (kartu pelajar/KTM, jika belum memiliki KTP)
5) Foto copy KK (kartu keluarga)
6) Foto terbaru ukuran 3 x 4 sebanyak 1 lembar (ditempel di Formulir bagian muka)
7) Data-data yang dapat menjadi penunjang antara lain :
a. Tanda bukti diterima di Perguruan Tinggi (lembar pengumuman dari PT/koran)
b. Foto copy sertifikat pelatihan/piagam penghargaan (terbaru 2009/2010)
c. Foto copy surat tunggakan SPP dari sekolah/kampus (jika ada tunggakan di sekolah/PT)
d. Foto copy surat kematian orangtua (Jika orangtua sudah wafat)
e. Permohonan berisi tentang data diri, kondisi ekonomi keluarga dan alasan pengajuan beasiswa.

Proses seleksi penerima beasiswa YAAB-ORBIT Periode 2010/2011 dilakukan oleh:
1) Team seleksi Perwakilan YAAB-ORBIT (waktu dan tempat seleksi ditentukan oleh perwakilan dimana ANBIM beasiswa menjalani studi)
2) Team seleksi YAAB-ORBIT Pusat pada bulan September-Oktober 2010

Jika ada yang kurang jelas atau perlu dipertanyakan kalian dapat menghubungi :
1) Perwakilan YAAB-ORBIT daerah dimana ANBIM menjalani studi
atau
2) Sekretariat YAAB-ORBIT Pusat
d.a : Gd. The Habibie Center
Jl. Kemang Selatan No. 98 Jakarta 12560
Telp/Fax : (021) 788 4 6927 atau
HP : (021) 684 9 5690 / 0856 8420311 (Mba Ibet)
catatan : maaf tidak membalas SMS

Email : yaaborbitpusat@yahoo.com
Milis : yaaborbitpusat@yahoogroups.com
FaceBook : yaaborbitpusat@yahoo.com


Catatan :

1) Formulir serta persyaratan pengajuan perpanjangan beasiswa bagi ANBIM YAAB-ORBIT yang menjalani studi di wilayah Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, NTT, Maluku, Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bogor & Banten dikirim langsung ke alamat sekretariat YAAB-ORBT Pusat paling lambat 31 Agustus 2010.

2) Bagi ANBIM yang di wilayah tempat studinya tidak disebutkan pada butir 1 di atas, harap segera menghubungi perwakilan YAAB-ORBIT setempat untuk memperoleh informasi perpanjangan beasiswa 2010/2011 atau menghubungi sekretariat YAAB-ORBIT Pusat.

3. Bagi ANBIM SMU/Sederajat yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi, formulir & persyaratannya paling lambat YAAB-ORBIT Pusat terima 1 (satu) minggu setelah pengumuman kelulusan/diterima di Perguruan Tinggi yang dipilih dan juga mengirimkan informasi ke Perwakilan YAAB-ORBIT dimana kamu akan menjalani studi.
RASIONALISME IBNU RUSYD DALAM
ILMU PENGETAHUAN


A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan hingga puncaknya berakibat pada perkembangan teknologi yang begitu luar biasa, tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahirnya dan terbentuknya ilmu pengetahuan itu sendiri. Lahirnya Ilmu pengetahuan berakar dari filsafat, pengaruh filsafat terhadap lahirnya ilmu pengetahuan membuka jalan berpikir menemukan kebenaran.
Sedangkan filsafat Islam sendiri lebih dominan di pengaruhi oleh filsafat Yunani dan diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti fisika, kedokteran dan astronomi.
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd.
B. Biografi Singkat Ibu Rusyd
Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu Rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.
Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles. Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentar terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah. Karya – karya Ibnu Rusyd Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih), Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran), Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat).
C. Pemikiran Ibnu Rusyd Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan lahir dari filsafat, filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan karena berawal dari berfilsaf para ilmuwan menemukan berbagai ilmu pengetahuan. Maka, penulis lebih menganalisis dan menganalogikan bahwa pengertian, hukum, dan klasifikasi filsafat menurut Ibnu rusyd juga berdampak pada ilmu pengetahuan secara umum.
1. Hukum mempelajari filsafat
Mempelajari filsafat menurut ibnu rusyd adalah suatu perintah yang diwajibkan oleh agama dan ditetapkan oleh syari`at. Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.
Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
2. Konsep Ilmu pengetahuan dalam filsafat ibnu rusyd
Ibnu rusyd membagi jiwa rasional yaitu akal, sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Manusia memperoleh pengetahuan lewat rasionya yang membawanya pada pengetahuan yang universal, disamping menggunakan perasaan dan imajinasi. Akal mencerap gagasan, konsep yang bersifat universal dan hakiki. Jadi pengetahuan adalah hasil berfikir dari akal manusia yang tidak menafikan keberadaan wahyu Allah untuk menyimpulkannya.
3. Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
• Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
• Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
• Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.
D. Penutup
Pemikiran dan faham rasionalisme yang diajarkan oleh ibnu ruyd diakui atau tidak sangat berdampak pada perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu. Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang fiqh Islam.

Filsafat

Asal Usul Filsafat sebelum Masehi
Manusia sebagai makhluk hidup paling sempurna dibanding makhluk lainnya karena memiliki akal. Akal merupakan sarana berfikir untuk memperoleh kebenaran dan menciptakan khasanah ilmu. Para pelaku demitologisasi yang terawal di Yunani Kuno ialah para filsuf yang hidup pada jangka waktu antara Thales dan Aristoteles. Para filsuf itu dianggap sebagai filsuf-filsuf “prasokrates” karena mereka hidup sebelum masa seorang filsuf yang sangat berpengaruh yang bernama Sokrates. Salah satu kepedulian utama filsuf “prasokrates” adalah memerikan hakikat “realitas terdalam” (ultimate reality).
Di antara para pelaku demitologisasi terawal ini terdapat empat orang yang pandangannya pantas mendapat sebutan istimewa. Masing-masing berkenaan dengan salah satu dari empat “anasir” tradisional (atau sesuatu yang menyerupainya) karena betul-betul merupakan realitas terdalam. Thales sendiri berpendapat bahwa segala sesuatu pada akhirnya bisa dijadikan air. Anaximenes (kira-kira 585-528 S.M.) membantah dengan mengklaim bahwa anasir yang paling dasar itu sebenarnya udara. Tak lama sesudah itu, Heraklitus (karyanya kira-kira muncul pada 500-480 S.M.), yang memiliki gagasan yang menarik mengenai logika lawanan, menyarankan agar api merupakan anasir yang paling tepat untuk memaparkan kompleks-bangunan metafisis dasar. Akhirnya, Demokritus (kira-kira 460-371 S.M.), yang namanya sangat mirip dengan suatu ideologi politik modern populer, membela kondisi “atomisme” terawal, yang memandang anasir dasar sebagai “yang-berada” (being atau what is) saja. Dengan kata ini ia memaksudkannya sebagai sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang kita maksudkan sebagai “zat atau bahan” (matter), yang pada garis besarnya sekurang-kurangnya menyiratkan kecocokan dengan anasir bumi, karena bumi itu mengacu bukan pada tanah belaka, melainkan pada semua zat padat. Jawaban-jawaban awal terhadap pertanyaan tentang kenyataan hakiki dikemukakan oleh Anaximander (kira-kira 610-546 S.M.), yang berpendapat bahwa di antara empat anasir tersebut tidak ada yang bisa diakui dengan tepat sebagai unsur dasar, karena anasir tersebut saling berlawanan (seperti basah dan kering, panas dan dingin). Jika satu unsur itu “tanpa tapal batas”, maka ini akan merontokkan semua anasir lainnya. Ia berpendapat, sebagaimana yang ditunjukkan di sini, bahwa di pusat salib tersebut, pengakuan kebutuhan atas keempat anasir itu harus dianut bersamaan dengan keseimbangan yang kreatif. Pandangan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Empedokles (kira-kira 495-435 S.M.), yang mengakui keempat anasir tersebut sebagai realitas-realitas dasar, yang menjelaskan keseimbangannya karena dianut bersama-sama dengan daya yang berlawanan antara “cinta” (philia) dan “cekcok” (neikos).
Benjamin Schwartz dalam bukunya ”The World of Thought in Ancient China” menyimpulkan bahwa Yunani tidak dapat dikatakan mengawali pemikiran rasional dan logika, karena hal serupa dapat ditemui dalam sejarah intelektual China pada sekitar zaman yang sama. Hal ini menjadi sangat masuk akal, mengingat terkenalnya The Silk Road di masa lalu, yang merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan China, Mesir hingga Eropa. Tentu saja dalam hal ini tidak hanya barang dagangan yang dipertukarkan, namun juga kebudayaan, tradisi-tradisi keilmuan dan pengetahuan masing-masing peradaban. Sebagai intermezzo, kita juga telah sangat memahami, bahwa tradisi minum teh yang sangat terkenal di Jepang hingga saat ini sebenarnya mereka pelajari dari bangsa China. Karena itu, Adi Setia memaparkan, bahwa penguasaan intelektual, politik dan ekonomi Eropa dalam sejarah dunia modern hanya bisa dijelaskan secara rasional dan tepat apabila dirujukkan kepada pengaruh antar benua (intercontinental influences) yang menjalar dari perkembangan tertentu dalam peradaban-peradaban bertetangga, bukan akibat unsur-unsur internal semata.
Prof. George GM. James dalam bukunya ”Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy” memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras, Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir. Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya buah pikiran itu dibawa ke Yunani dan ditulis kembali secara besar-besaran dalam bahasa Yunani, tanpa menyatakan sumber asalnya secara terus-terang dan terperinci. Kita tentu telah mengetahui bahwa tradisi mencantumkan sumber secara terperinci baru berkembang setelah ulama-ulama Muslim dengan sangat hati-hati dan teliti mencantumkan seluruh narasumber dan sanad dari setiap hadits yang dituliskan. Dalam bukunya ini, Prof. James bahkan meringkas seluruh doktrin dalam filsafat Yunani yang setelah ditelusuri asal-usulnya, terdapat dalam batu prasasti Teologi Memphis dari abad ke-4 SM, jauh sebelum kelahiran Thales dan filsuf semasanya.
Selain itu, Martin Bernal dalam bukunya Black Athena, menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir. Bahasa Yunani, walaupun termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa Kan’an dan bahasa Mesir. Peradaban Yunani juga banyak terpengaruh oleh peradaban Mesir dan Funesia, akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu. George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia, maka pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat sejati yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Sarton menyatakan bahwa sains Yunani sebenarnya lebih merupakan suatu ’pemulihan’ daripada ’penciptaan’.
Lebih jauh, melalui pengamatan akan kaidah sejarah peradaban dunia secara menyeluruh, dapat kita ambil suatu pelajaran bahwa kemunculan-kemunculan filsafat dan sains di dalam setiap peradaban hanya dapat terjadi melalui suatu kesinambungan intelektual (intellectual continuity) dalam rentang masa yang panjang. Konsekuensinya, tradisi pengalaman amaliah (empiris) sebagai dasar pemikiran spekulatif Thales semestinya sudah ada dalam waktu yang cukup lama. Namun, sejarah mencatat bahwa zaman sebelum Thales adalah the Dark Ages of the Greeks yang dipenuhi dengan berbagai bencana alam dan penjajahan.
Garis pembagi tebal dalam filsafat Yunani kuno–garis yang menempatkan para filsuf yang memiliki pandangan yang terlihat jauh dan asing di satu sisi dan para filsuf yang mempunyai pandangan yang dengan jelas tampak lebih relevan dengan urusan filosofis kontemporer di sisi lain terdapat dalam bentuk seorang filsuf saja yang sepengetahuan kita tidak pernah menulis buku. Filsuf tersebut, Sokrates (470-399 S.M.), memberi penafsiran yang benar-benar baru mengenai tugas filosofis, yang implikasi penuhnya merentang sampai duaribu tahun. Kita mengetahui ide dan kehidupan Sokrates terutama melalui tulisan-tulisan seorang pengikut dekatnya, Plato (427-347 S.M.). Bersama-sama dengan murid cemerlang Plato, Aristoteles (384-322 S.M.), orang-orang ini merupakan inti tradisi filsafat Yunani kuno. Meskipun mengingat-ingat kepastian tahun kehidupan mereka tidak penting, urutan masa kehidupan mereka perlu diketahui. Ini mengingatkan kita bahwa Sokrates sudah agak tua manakala ia mempengaruhi Plato muda, dan bahwa ia meninggal sebelum Aristoteles lahir
Kehidupan Sokrates tidak banyak diketahui. Beberapa ilmuwan bahkan mempertanyakan apakah sesungguhnya orang tersebut pernah hidup. Namun demi tujuan kita, kita dapat mengabaikan perdebatan itu karena, walaupun barangkali tokoh itu hanya rekaan Plato dan orang-orang sezamannya, tokoh tersebut telah berfungsi sebagai “mitos” yang menuntun perkembangan filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Sokrates ialah seorang pemikir sejati yang mempraktekkan ucapannya. Sekalipun ia orang Athena yang berstatus tinggi, ia kadangkala sudi menanggalkan kedudukannya di tengah kehidupannya untuk menjalani hidup dengan “sangat miskin” sebagai seorang filsuf. Selama masa itu ia memanfaatkan waktunya untuk menjelajahi kota Athena dengan mengajak orang-orang untuk bercakap-cakap tentang berbagai persoalan. Ia sering bentrok dengan kaum Sofis, para filsuf profesional populer yang melahirkan “kealiman” mereka (dengan ciri khas, penelitian secermat-cermatnya tanpa penerapan semestawi sama sekali) demi uang. Kendatipun ia bersikeras bahwa ia bukan guru, terdapat sekelompok pemuda (salah satunya ialah Plato) yang suka berkerumun mengelilinginya, yang tertarik untuk belajar seni berfilsafat dengan cara baru itu.
Jalan karir Sokrates yang paling signifikan, sebagaimana yang dicatat oleh Plato dalam Apology-nya, bermula ketika kawan lamanya, Chaerefon, bertanya kepada peramal Delfi apakah ada orang yang lebih alim daripada Sokrates. Tatkala Sokrates mendengar bahwa dukun tersebut menjawab “tidak”, ia merasa dihadapkan dengan suatu teka-teki yang harus dipecahkan, karena ia yakin [dirinya] tidak pantas disebut alim. Oleh sebab itu, ia bepergian mewawancarai semua orang yang memiliki reputasi alim, seperti politisi, pujangga, dan cendekiawan, dengan harapan belajar dari mereka tentang makna kealiman sejati. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjelaskan “kealiman” mereka sendiri senantiasa patah oleh pertanyaan Sokrates yang bertubi-tubi. Mereka tak hanya tak mampu memaparkan dalam hal apa mereka “alim”. Sokrates pun di depan umum berupaya “membuktikan” bahwa sesungguhnya mereka tidak alim. Secara alamiah, dengan mempertanyakan semua mitos tradisional yang dianut oleh hartawan dan tokoh di kalangan masyarakatnya, ia mengail musuh banyak sekali! Namun bagi Sokrates, itu tidak penting karena dengan melakukannya ia bisa menemukan “bahwa orang-orang yang berreputasi tertinggi [perihal kealiman mereka] hampir seluruhnya kurang alim, sedangkan kualifikasi kecerdasan-praktis orang-orang lain yang disangka lebih rendah [justru] jauh lebih baik”.
Akhirnya Sokrates menyimpulkan bahwa peramal itu memang mengetengahkan suatu teka-teki, tetapi solusinya merupakan sebutir pil pahit bagi orang-orang yang perlu membela kemuliaan-kemuliaan kealiman manusia demi peran mereka di masyarakat:
[Some people have described] me as a professor of wisdom…. But the truth of the matter … is pretty certainly this, that real wisdom is the property of God, and this oracle is his way of telling us that human wisdom has little or no value. It seems to me that he is not referring literally to Socrates, but has merely taken my name as an example, as if he would say to us, The wisest of you men is he who has realized, like Socrates, that in respect of wisdom he is really worthless.
([Beberapa orang menggambarkan bahwa] saya ialah guru-besar kealiman…. Namun yang benar … tentu saja bahwa kealiman sejati merupakan sifat Tuhan dan bahwa peramal itu bermaksud memberitahu kita bahwa kealiman manusia tidak atau kurang bernilai. Tampak oleh saya bahwa ia tidak mengacu pada Sokrates secara harfiah, tetapi hanya mencomot nama saya sebagai contoh, seakan-akan ia berujar kepada kita, “Yang paling alim di antara kalian ialah orang yang, seperti Sokrates, mengakui bahwa dalam hal kealiman ia sebenarnya kurang berharga.”)
Memahami implikasi wawasan ini sangat penting jika kita hendak memahami perkembangan filsafat, dan terutama metafisika, dalam duaribu tahun sepeninggalnya. Ini karena dalam pernyataan itu Sokrates dengan jelas menyatakan kriteria pertama untuk menjadi filsuf yang baik.
Harga yang harus dibayar oleh Sokrates demi wawasan tersebut adalah nyawanya. Para warganegara yang berpengaruh di Athena mengajukannya ke sidang pengadilan, menuduh dia “merusak pikiran pemuda dan memyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara”. Selama pengadilannya, ia membela diri bukan dengan bermohon belas kasih atau berjanji untuk berperilaku secara lebih beradab, melainkan dengan berpidato secara terbuka dan tajam di depan para penuduhnya. Ia menjelaskan bagaimana kehidupan filosofis merupakan kehidupan yang menghargai kematian. Filsuf ialah orang yang mentaati perintah prasasti pada kuil di Delfi, “Kenalilah dirimu sendiri“. Orang yang tidak menerima tantangan ini berada dalam situasi yang menyedihkan, mengingat “kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga”. Memang, Sokrates jelas-jelas menghargai kehidupan yang berperiksa-diri sebagai kehidupan yang mengabdi kepada Tuhan: meskipun ia sengaja menumbuhkan keragu-raguan terhadap perkembangan dewa-dewa dalam tradisi Yunani, Sokrates sendiri menghargai filsafat sebagai kejuruan yang berilham ilahi. Hanya dengan menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut mengantar masyarakat yang laik:
For I spend all my time going about trying to persuade you, young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for your possessions, but for the highest welfare of your souls … Wealth does not bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other blessing, both to the individual and to the state.
(Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan tertinggi jiwa kalian … Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran], tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara.)
Pernyataan-pernyataan sedemikian itu tentu saja bagaikan tamparan di wajah mereka yang ia ceramahi, yaitu orang-orang yang sebagian besarnya memandang Sokrates selaku (mantan) teman karena ia sendiri pernah menjadi anggota mahkamah tersebut. Jadi, tidaklah begitu mengejutkan setelah suara juri dihitung Sokrates divonis mati (sekalipun dengan selisih yang cukup kecil, 281 lawan 220). Namun menghadapi kekejaman putusan itu, Sokrates menerimanya dengan ketenangan yang tulus, dengan memprediksi bahwa jumlah orang yang mau mempersoalkan status quo–yakni jumlah.
Peradaban-peradaban dunia, baik itu peradaban Yunani, Islam, Kristen, Barat dan Modern sebenarnya memiliki dua faktor dasar yang mempengaruhi perkembangannya, yaitu faktor internal yang menyebabkan perkembangan internal dan faktor eksternal yang mendasari perkembangan eksternalnya. Dalam peradaban Yunani, worldview Yunani Kuno dibentuk melalui penggabungan unsur-unsur asli Indo-Eropa dan unsur-unsur non-Eropa, yaitu Mesir dan Funesia yang pernah menjajahnya. Hal ini dilanjutkan dengan masa kegelapan yang baru pulih sekitar tahun 700 SM, saat hubungan dengan Mesir dan Babilonia diperbaharui. Bangsa Yunani banyak marantau dan menyerap ciri-ciri kebudayaan Mesir-Babilonia yang sedikit banyak mengakibatkan pemikiran Yunani menjadi lebih rasional. Sampai pada masa Thales, pemikiran rasional bangsa Yunani telah cukup matang untuk dapat menghargai nilai pencapaian pemikiran rasional dalam peradaban-peradaban kuno yang bertetangga dengannya dan jauh lebih maju dalam pencapaian filsafat dan sains, termasuk juga pencapaian teknologi.

Senin, 26 April 2010

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Sekolah : MA N 1 Boyolali
Mata Pelajaran : Sejarah Kebudayaan Islam
Kelas / Semeseter : XII / Ganjil
Tahun Pelajaran : 2009 / 2010
Alokasi Waktu : 15 Menit

I. Standar Kompetensi
Memehami masalah kepemimpinan umat islam paska Nabi wafat.
II. Kompetensi Dasar
Menceritakan proses dan model pemilihan kepemimpinana pada masa Khulafaurrasyidin.
III. Indikator
 Menjelaskan proses dan model pemilihan kepemimpinana pada masa Khulafaurrasyidin.
 Mendiskripsikan tata cara pemilihan kepemimpinan khulafaurrasyidin.
 Menjelaskan hikmah dibalik pemilihan kepemimpinan khulafaurrrasyidin.
IV. Tujuan Pembelajaran
Siswa dapat mengetahui model pemilihan kepemimpinan pada masa khulafaurrasyidin dan dapat mengambil pelajaran dari proses tersebut sehingga dapat megmbil pelajaran yang baik dan menerapkan dalam kehidupan sehari – hari.
V. Materi Ajar
Proses dan model pemilihan Khulafarrasyidin
VI. Metode / Strategi Active Learning
 Jigsaw
 Small Group Discussion (SGD)
VII. Langkah-langkah Pembelajaran
Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu
Kegiatan Pendahuluan
Salam pembuka, presensi, pengaturan kelas, berdoa bersama dan apersepsi.
Kegiatan Inti
 Guru memberikan sedikit gambaran dan ulasan mengenai materi pokok melalui tayangan power point.
 Guru membagi kelas menjadi 4 kelompok dengan asumsi kelas terdiri dari 24 siswa.
 Pembagian kelompok berdasarkan kehadiran dan berhitung secara berurutan. Masing – masing kelompok terdiri dari anak dengan tugas berikut:
Kelompok
A Kelompok
B Kelompok
C Kelompok
D
1,2,3,4,5,6 1,2,3,4,5,6 1,2,3,4,5,6 1,2,3,4,5,6
Membahas proses dan
model pemilihan kepemimpinan pada masa khulafaur-rasyidin Abu Bakar Membahas proses dan
model pemilihan kepemimpinan pada masa khulafaur-rasyidin
Umar Bin Khatab Membahas proses dan
model pemilihan kepemimpinan pada masa khulafaur-rasyidin
Usman Bin Affan Membahas proses dan
model pemilihan
kepemimpinan pada masa khulafaur-rasyidin
Ali Bin Abi Thalib

 Setiap anggota kelompok bertugas membaca dan memahami meteri yang ada dalam buku panduan materi pelajaran.
 Setiap kelompok melakukan diskusi kecil dan merangkum hasil diskusi.
 Setiap anggota kelompok menyampaikan hasil diskusi kecil kelompoknya kepada kelompok lain melalui alah satu anggotanya yang dikirim pada diskusi kecil antar kelompok, dengan distribusi tugas seperti tergambar dalam tabel:
Membahas proses dan model pemilihan kepemimpinan pada masa khulafaurrasyidin
1a 1b 1c 1d

1a = Khulafaurrasyidin Abu Bakar
1b = Khulafaurrasyidin Umar Bin Khatab
1c = Khulafaurrasyidin Usman Bin Affan
1d = Khulafaurrasyidin Ali Bin Abi Thalib
2a 2b 2c 2d

2a = Khulafaurrasyidin Abu Bakar
2b = Khulafaurrasyidin Umar Bin Khatab
2c = Khulafaurrasyidin Usman Bin Affan
2d = Khulafaurrasyidin Ali Bin Abi Thalib
3a 3b 3c 3d

3a = Khulafaurrasyidin Abu Bakar
3b = Khulafaurrasyidin Umar Bin Khatab
3c = Khulafaurrasyidin Usman Bin Affan
3d = Khulafaurrasyidin Ali Bin Abi Thalib
4a 4b 4c 4d

4a = Khulafaurrasyidin Abu Bakar
4b = Khulafaurrasyidin Umar Bin Khatab
4c = Khulafaurrasyidin Usman Bin Affan
4d = Khulafaurrasyidin Ali Bin Abi Thalib
5a 5b 5c 5d
5a = Khulafaurrasyidin Abu Bakar
5b = Khulafaurrasyidin Umar Bin Khatab
5c = Khulafaurrasyidin Usman Bin Affan
5d = Khulafaurrasyidin Ali Bin Abi Thalib
6a 6b 6c 6d

6a = Khulafaurrasyidin Abu Bakar
6b = Khulafaurrasyidin Umar Bin Khatab
6c = Khulafaurrasyidin Usman Bin Affan
6d = Khulafaurrasyidin Ali Bin Abi Thalib

Setelah melalui proses zig zag dan msing–masing siswa terlihat dalam diskusi kecil antar kelompok tersebut masing–masing disampaikan pada teman sekelompoknya.
 Kembalikan posisi seperti semula untuk mengulas lagi seandainya ada masalah yang belum terpecahkan.
 Guru melempar beberapa pertanyaan untuk menjajaki pemahaman dan kompetensi yang dimiliki siswa.
Kegiatan Penutup
 Guru melakukan refleksi, kesimpulan, klarifikasi dan tindak lanjut.

VIII. Sumber / Bahan Belajar
 Kertas untuk catatan Setiap siswa
 LCD, Power Point presentation
 Spidol, White Board
 Foto copy materi
 Buku PAI kelas XII
 LKS PAI kelas XII
IX. Evaluasi / Penilaian
 Teknik : Tes Tertulis, Quis
 Bentuk Instrumen : Tes Uraian, pertanyaan langsung dikelas
Instrumen
Tes Uraian
1. Jelaskan proses pemilihan kepemimpinan khulafaurrasyidin Umar bin Khatab!
2. Bagaimana proses pengangkatan khulafaurrasyidin Ali bin Abi Thalib?
3. Bagaimana pendapat anda jika di Indonesia menggunakan model pemilihan Presiden dengan menggunakan salah satu model pemilihan Khulafaurrasyidin, jelaskan pendapat anda!
4. Jelaskan hikmah dari masing – masing proses pemilihan kepemimpinan khulafaurrasyidin!
Quis (pertanyaan langsung di kelas)
1. Menjelaskan mengenai model pemilihan masing – masing Khalifah
2. menanyakan apakah ada kendala-kendala dalam proses pemilihan






Mengetahui
Kepala Sekolah Guru Mapel




Kepala sekolahmu, M. Ag guruku