Selasa, 15 November 2011

UU RI NOMOR 14 TAHUN 2005 BAB 1V DAN KONSEKUENSINYA PADA PROGRAM KUALIFIKASI DAN SERTIFIKASI GURU PAI A. Pendahuluan Dalam bidang pendidikan, era global ditandai dengan pemanfaatan teknologi modern yang mampu mengakses pembelajaran jarak jauh dengan multimedia. Sehingga pembelajaran tidak terbatas pada ruang kelas yang terbatas, tetapi dapat dilaksanakan kapan saja dan dimana saja. Namun teknologi modern yang luar biasa manfaatnya itu, juga berdampak negatif pada aspek-aspek tertentu, misalkan meniru budaya – budaya yang bisa merusak akidah, hedonisme, materialisme, individualisme. Diungkapkan H.A. Tilaarrrr bahwwa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dibutuhkan 3 perhatian pokok, yaitu aspeek akademik aspek religio mental, dan aspek ketenagakerjaan. Hal ini membutuhkan kesiapan pendidik terhadap dampak negatif dan positif era global. Dunia pendidikan nasional dituntut untuk meengembangkan keemampuan membentuk watak serta peredaran bangsa bermartabat sesuai dengan UU Sisdiknas. Maka peerlu tenaga pendidik yang memenuhi persyaratan keemampuan profesional baik sebagai peengajar dan pelatih, disinilah letak pentingnya standar mutu profesional guru untuk menjamin PBM dan hasil belajar yang bermutu . Maka pemerintah menetapkan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional (SNP) dan UUGD untuk mengatur guru dan dosen pendidikan nasional. Diharapkan UUGD ini mampu meningkatkan mutu pendidikan nasional dengan peningkatan para pendidiknya. Setelah memperhatikan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah: Persiapan apa saja yang harus dilakukan guru seteelah diberlakukannya UU RI No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 8. Bagaimana implikasi UU RI No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 8 terhadap profesionalisme guru? B. Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 8 Salah satu komponen yang sangat penting dan menentukan dalam penjaminan mutu untuk meningkatkan kecerdasan bangsa adalah guru atau pendidik. Seperti yang telah dijelaskan bahwa guru merupakan bagian yang terpenting dalam pendidikan dan sebuah profesi yang membutuhkan keahlian dan kemampuan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru untuk mencapai keberhasilannya dalam UU RI no 14 th 2005. Pemakalah membahas tentang kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, seperti yang tercantum dalam bab IV pasal 8 yaitu: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional , yaitu: 1. Kualifikasi akademik Dewasa ini dunia kerja, dalam rangka menghasilkan produk yang kompetitif, memerlukan SDM yang berkualitas atau SDM yang mampu menghasilkan yang tinggi nilai tambah sehingga mampu bersaing di pasar global, SDM yang demikian hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang berkualitas, yang pada gilirannya bergantung pada kualitas guru sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Salah satu cara untuk meningkatkan SDM yang berkualitas dengan cara membenahi kualifikasi guru. Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan atau sertifikat keahlian relevan sesuai ketentuan perundang-undang yang berlaku. Dalam UUGD, kualifikasi minimum pendidik harus ditingkatkan yang diperoleh melalui pendidikan tinggi Program Sarjana atau Diploma IV , artinya kelayakan profesi guru baru dapat diakui apabila ia telah berlatarbelakang pendidikan yang setingkat dengan D IV atau S1. Ketentuan tersebut merupakan bentuk peningkatan kualifikasi guru yang sementara ini adalah berpendidikan minimal DII untuk guru TK dan SD, DIII untuk SLTP Sederajat dan S1 untuk SLTA maka dalam UUGD semua guru dari tingkat SD sampai SLTA atau yang sederajat harus berkualifikasi S1 atau DIV, konsekuensi dari aturan tersebut adalah guru yang berkualifikasi pendidikannya baru D.II dan D.III harus menyetarakan pendidikannya untuk memenuhi kualifikasi setaraf S1/D.IV, dengan kata lain guru yang belum S1 / D.IV harus menempuh jenjang kesarjanaan atau setingkat S!/D.IV. Untuk menyiapkan calon guru yang qualified, guru harus diberi bekal dalam ilmu pendidikan dan ilmu keguruan beserta prakteknya, persekolahan yang memadai untuk jenis guru yang kita perlukan. Oleh karena itu mereka disiapkan untuk mempelajari ilmu pendidikan, bidang studi keduanya dalam mendukung kompetensi pedagogik dan kompetensi bidang studi. Dalam pembahasan diatas bahwa kualifikasi akademik diperuntukkan bagi guru SD sampai SLTA yang harus menyetarakan pendidikan untuk memenuhi kualifikasi setaraf D IV atau S1 yang masih D.II atau di bawahnya sesuai dengan UUGD untuk menjadi guru yang kualified dalam melaksanakan pembelajaran dan bisa mengikuti sertifikasi guru guna memperoleh penghasilan diatas kebutuhan minimum (tunjangan fungsional). 2. Kompetensi dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 8 Kompetensi guru merupakan berbagai kemampuan yang mendukung aktivitas pembelajaran yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan apapun. Kompetensi adalah seperangkat kebutuhan. Ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dan dosen dalam melaksanakan keprofesionalan . Dalam rangka untuk melaksanakan tugas-tugasnya guru harus profesional, harus memiliki berbagai kompetensi, kompetensi-kompetensi guru profesional antara lain meliputi: kemampuan untuk mengembangkan pribadi peserta didik, khususnya kemampuan intelektual serta membawa peserta didik menjadi anggota masayarakat Indonesia yang bersatu berdasarkan pancasila. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut seorang profesional tentunya harus menguasai falsafah pendidikan nasional, menguasai ilmu pengetahuan yang luas khususnya bahwa pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik, serta memiliki kemampuan teknis dalam penyusunan program pengajaran dan melaksanakannya. Di dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10 Ayat 1 disebutkan bahwa kompetensi meliputi: Kompetensi pedagogik, kompetensi Kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional. Selain macam – macam kompetensi disini juga dijelaskan mengenai dasar dan tujuan, seorang guru haruslah memiliki dasar dalam mendidik yang merupakan tuntunan baginya guru menunjang tugasnya sebagaimana pendapat Oemar Hamalik yanitu: a. Untuk mensukseskan pembangunan sistem pendidikan harus ditata dan direncanakan orang yang ahli dibidangnya. Tanpa keahlian, yang ditandai dengan kompetensi sebagai persyaratan pendidikan sulit berhasil. b. Sekolah adalah lembaga profesional oleh karena harus dididik oleh profesi kependidikan agar memiliki kompetensi yang diperlukan dalam menjaga tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien. c. sebagai konsekuensi logis dari pertimbangan tersebut maka seorang guru harus memiliki kompetensi profesional, pengabdian dan kemasyarakatan. Sedangkan tujuan kompetensi adalah sebagai berikut: d. Guru harus mempunyai kemampuan pribadi, maksudnya guru diharapkan mempunyai kemampuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola PBM yang efektif. e. Guru harus mempunyai inovator yaitu tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen terhadap upaya perubahan dan informasi kearah yang lebuh baik. f. Guru mampu menjadi developer yaitu guru mempunyai visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Dari pembahasan diatas kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai guru setidaknya mempunyai 4 kompetensi yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, profesional. 3. Sertifikasi dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 8. Pemahaman sertifikasi menurut UU adalah proses memberikan sertifikat pendidik, yang menjadi bukti formal sebagai pengakuan yang memberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Guru yang belum memiliki sertifikasi dan kualifikasi diberi tenggang waktu paling lama 10 Tahun. Dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 seperti yang dicantumkan dalam pasal 11. Uji sertifikasi pendidik menurut Permendiknas no. 18 Tahun 2007 terdiri dari pengumpulan portofolio dari 10 komponen. a. Kualifikasi Akademik, b. Pendidikan dan Pelatihan, c. Pengalaman Mengajar, d. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran, e. Penilaian dari atasan dan pengawas, f. Prestasi Akademik, g. Karya Pengembangan profesi, h. Keikutsertaan dalam forum Ilmiah, Pengalaman Organisasi dibidang kependidikan dan sosial, i. Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan C. Mekanisme Sertifikasi Guru Pertama, bagi calon guru mengikuti pendidikan profesi Plus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi / swasta yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan (PT LPTK) yang terakreditasi, dan ditunjuk oleh pemerintah). Kedua, bagai guru yang sudah mengajar (guru dalam jabatan) langsung uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio (penilaian terhadap dokumen sebagai pengakuan terhadap pengalaman profesional guru. Kalau tidak lulus ikut Diklat Profesi Guru (DPG). Hasil yang diharapkan melalui program sertifikasi ini adalah: tersedianya tenaga guru terdidik dan terlatih yang memiliki kualifikasi guru dan Meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan tenaga guru Sertifikasi diperuntukkan bagi yang berijazah S1 / D IV, guru yang ikut sebagai peserta dalam program sertifikasi adalah: Pendidikan minimal S1 / D IV, Guru PNS / Non PNS, aktif mengajar, mendaftarkan diri sebagai peserta sertifikasi. Sebagai konsekuensi logis adanya sertifikasi pendidikan, maka setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu dengan mendapatkan hak profesinya, artinya bahwa hak atas sertifikasi diberikan pada semua tenaga baik mereka yang berstatus PNS atau non PNS dengan semua hak yang melekat di atasnya. Sementara dalam meningkatkan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidikan bagi guru dalam jabatan, pemerintah dan pemda memiliki kewajiban menyediakan anggaran. Implikasi lanjut dengan adanya program sertifikasi adalah keilmuan guru, khususnya tenaga pendidik tidak lagi menggunakan model pendidikan simultan (concurrent model) tetapi dengan menggunakan model pendidikan beruntun (consecutive model) , hal ini merujuk pada profesionalitas profesi sebagaimana kebanyakan profesi, pendidikan profesi ditempuh setelah bersangkutan menempuh materi keilmuan. D. Profesionalisme Guru PAI Dalam studi tentang profesionalisme kita berkenalan dengan sejumlah definisi tentang profesi, profesional dan profesionalisme. Menurut Dr. Sikun Pribadi, Profesi adalah suatu pernyataan atau suatu janju terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karrena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaann . Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, profesi adalah pekerjaan yang dilandasi keahlian (ketrampilan, kejujuran, dsb) tertentu. Sedangkan profesionalisme adalah (1) Bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian, (3) mengharusnkan adanya persyaratan untuk melakukannya . Kemudian profesionalisme berasal dari bahasa inggris, yaitu profesionalism yang secara lexical berarti sifat profesional . Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebtkan bahwa profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Dari beberapa pengertian diatas tersirat di dalam sebuah profesi digunalan teknik dan prosedur intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan orang lain. Dalam kaitan ini seorang pekerja profesional dapat dibedakan dengan seorang amatir walaupun sama-sama meenguasai seeejumlah teeknik dan prosedur pekerja tertentu, seseorang pekerja profesional harus memiliki informed resfonsiveness (ketanggapan berdasarkan kearifan) terhadap implikasi kemasyarakatn atau obyek kerjannya. Dengan perkataan lain, seorang pekerja profesional memiliki filosofi untuk menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya . Semua ini dilakukan untuk menurut Rahman Natawijaya mengemukakan beberapa kriteria sebagai ciri suatu profesi : a. Ada standart untuk kerja yang baku dan jelas b. Ada lembaga pendidikan yang khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standart akademik pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu. c. Ada organisasi yang meewadahi para pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan kesejahteraan. d. Ada etika dan kodeetik. e. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yag adil dan baku. f. Ada pengakuan masyarakat terhadap peekerjaan itu sebagai suatu profesi Sehubungan dengan profesionalitas guru, seorang guru diwajibkan mengetahui fungsi, tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Dalam hal ini seesuai dengan firman Allah SWT, QS. Al-Isra` Ayat 84:            Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanNya. (QS. Al – Isra` : 84) Dalam tafsir Al- Maraghiy dijelaskan bahwa sesungguhnya masing – masing orang yang beriman beramal sesuai dengan cara dan keadaannya sendiri-sendiri . dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pekerjaan harrus dilakukan dan dikerjakan sesuai dengan keeahlian dan kemampuannya untuk mencapai profesional. Begitu pula dengan guru, harus profesional dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru untuk mencapai keberhasilan. Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) di satu pihak disebut sebagai guru spiritual dan atau guru moral memang amat diperlukan adanya, tetapi jangan sampai mengabaikan profilnya sebagai GPAI yang intelektual dan profesional, yang dimanivestasikan dalam bentuk kreatifitas, dinamika, inisiatif, etos ilmu dan sebagainya, yang semua bermuara pada makna etos kerja dari GPAI itu sendiri dalam melaksanakan pendidikan agama disekolah. Selain itu GAPI juga dituntut untuk memiliki kompetensi personal sosial. Dipihak lain, GPAI juga sekaligus disebut sebagi profesi, sehingga dituntut untuk memiliki kompetensi profesional dan layanan. E. Analisis Implikasi UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Bab IV Terahadap Peningkatan Profesionalisme Guru PAI Formulasi profesionalisme GPAI tidak hanya dilakukan pada tataran teoritas belaka, tetapi juga pada tataran praktisnya untuk diimplementasikan secara optimal dalam kehidupan sehari-hari, sesuai tuntutan kurikulum. Sehingga materi pelajaran yang diberikan di sekolah akan memberikan makna dan manfaat dalam kehidupan langsung bagi anak didik. Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh guru membutuhkan kesabaran dan penuh tanggung jawab sebagi pengemban amanat untuk kematangan dan kedewasaan anak didik. Profesionalame GPAI di era Global juga menuntut: 1. Optimalisasi kecerdasan inteltual, emosional dan spiritual. Hal ini akan mendukung tumbuhnya sikap profesinal, mandiri, kreatif, inovatif dan penuh tanggung jawwab sebagai pengemban amanah Allah. Yaitu mampu meemberi makna dari setiap yang dialami, dilakukan dan ditemukan. Seehingga apa yang dikerrrjakan seelalu diorientasikan kepada Allah SWT. 2. Komitmen, yaitu bekerja atau mengajar sebagai pemenuhan panggilan jiwa, tanggung jawab sosial dan morrrral. Hal ini akan meeeenumbuhkan keeeemampuan untuk beeerrrkreasi, berorientasi pada tujuan akhir yang sinergis, tanpa mengenal lelah sebagai bentuk pengabdian. 3. Kemandirian, kemampuan untuk tampil dalam segala situasi dan kondisi, namun tetap dengan kerja yang optimal. Kemamdirian guru dapat dilihat dari kemantapan dalam mengajar, keharmonisan dalam berkomunikasi dengan anak-anak didik, sehingga akan meningkatkan kualitas. 4. Kreatifitas dan inovasi, kemampuan menciptakan nilai dan cara baru dalam upaya meningkatkan prestasi peserta didik, serta mampu memanfaatkan setiap peluang untuk memperoleh sesuatu yang baru. Ia selalu menciptakan yang baru dari yang sebelumnya. Sehingga setiap waktu membuat oerubahan ke arah perbaikan. Secara sederhana profesionalisme membutuhkan peran dari semua pihak, lebih-lebih guru agama dalam menanggapi era global, sebagai ciri dinamis, menurut Djamaluddin Darwis, harus memiliki: optimisme dari visi masa depan (Optimism and futurism), sikap menghargai waktu (valuation on time), kerjasama (cooperation), Orientasi pada profesionalme, dan visi psikososial yag oleh Abdurrahman Mas`ud, masa depan ini harus disambut dengan siap siaga, damai, dan kemengan dunia Islam (future without Shock). Dengan demikian GPAI dalam menghadapi era global membutuhka seperangkat persiapan internal dan ekstrnal agar mampu memanfaatkan teknologi modern semaksimal mungkin dan mampu mengantisipasi akibat dari dampak negatif yang ditimbulkan dari teknologi tersebut. Pemerintah di pusat dan daerah merupakan perwujudan masyarakat, bangsa dan negara yang mengemban kepercayaan masyarakat, untuk mengelola keseluruhan segi kehidupan bangsa (antaralain dalam bidang pendidikan). Karena pada dasarnya UU adalah ketentuan – ketentuan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah disahkan oleh parlemen ditandatanagi kepala negara dan mempunyai kekuatan yang mengikat . Dalam hal ini guru PAI yang sebelumnya hanya dianggap guru “kelas dua” kini adanya UUGD diharapkan bisa meningkat profesionalme guru. Pengesahan UUGD adalah suatu hal istimewa bagi guru, karena dengan UU tersebut tampak adanya pengakuan, jaminan dan perlindungan hukum secara nyata dari pemerintahan terhadap peran guru dalam mewujudkan pembangunan nasional, serta adanya pengakuan terhadap profesi guru sebagai profesi yang bermartabat. Bila dicermati lebih lanjut, terhadap dua aspirasi pokok dari UUGD yaitu kesejahteraan dan keprofesionalan, kedua aspirasi pokok yang teersirat dalam UU itu menimbulkan perrmasalahan profesionalitas terhadap porsi kesejahteraan sebagai wujud hak guru dan porrsi perofeesonalitas sebagai wujud kewajiban guru (termasuk GPAI) Peningkatan profesionalisme guru meliputi beberapa hal diantaranya: 1. Seorang guru harus sehat jasmani dan rohani sehingga mampu mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, 2. Harus memiliki kualitas akademik dimana seorang guru dalam hal ini GPAI telah menyelesaikan jenjang pendidikan minimal S1, 3. Guru harus memiliki sertifikasi S1 dengan melalui uji kompetensi yang dilaksanakn oleh pemerintah, apabila guru tidak memiliki ijazah dan atau sertifikasi keahlian, tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapt diangkat menjadi guru detelah selesai melewati uji kelayakan dan kesetaraan. Dengan demikian untuk meningkatkan profesionalisme guru PAI, seorang guru harus memenuhi eberapa kriteria yaitu kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru. Sehingga guru PAI dapat disejajarkan dengan guru mata pelajaran lain. Karena memiliki kualifikasi dan kompetensi yang sama, yang membedakan dengan guru ynag lain adalah kompetensi guru yang bersifat religius. Karena religius tersebut selalu dikaitkan dengan masing-masing kompetensi tersebut menunjukan adanya komitmen GPAI kepada ajaran Islam sebagai kriteria untuk sehingga segala masalah perilaku kependidikan dihadap, dipertimbangkan, dipecahkan dan didudukan dalam perspektif Islam. F. Penutup Setelah diuraikan dan dijelaskan secara panjang lebar dan mendalam, kiranya dapat diambil bebeerapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, point penting yang daat diambil dari lahirnya UU RI No. 14 tahun 2005 Bab IV bahwa persiapan guru yaitu guru harus wajib memiliki kualifikasi minimal S1 kompetensi dan sertifikasi sebagai pendidik, serrtifikasi tersebut mensyaratkan pendidikan guru minimal S1, pasalnya dengan serrtifikasi, kompetensi ini gurru nantinya diberikan kesejahteraan yang baik. Dan menjadi sebuah harapan terhadap perbaikan nasib profesi guru mulai tampak, pasti para guru sangat gembira menyambut UU tersebut, tetapi masih banyak lorong dan liku yang harus ditapaki guru utunk mewujudkan profesi guru yang bermartabat. Salah satunya adalah tentang kualifikasi guru dimana harus berpendidikan S1 atau D IV. Kedua, eksistensi UUGD terhadap pofeesionalisme GPAI, merupakan sebuah usaha yang memerlukan suatu pengangan khusus dari pemerintah. Ketiga, GPAI harus mampu meengahadapi tantangan era global, sebagai tnaga profesional, salah satu modal yang harus dikembangkan adalah pengoptimalan fungsi IQ, EQ dan SQ secara proposional dan sinergis.

RELASI AGAMA DAN NEGARA (STUDI TERHADAP PIAGAM MADINAH)

RELASI AGAMA DAN NEGARA
(STUDI TERHADAP PIAGAM MADINAH)

A. Latar Belakang
Relasi Agama dan Negara ternyata sudah lahir sejak masa Nabi Muhammad Saw hal ini tercermin dalam sejarah Islam. Dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad beliau telah mengajarkan pentingnya kesepakatan atau perjanjian diantara masyarakat agar bias hidup berdampingan secara damai. Perjanjian tersebut salah satunya dicontohkan dalam Piagam Madinah.
Piagam Madinah yang di dalamnya mengandung kesepakatan bersama memberikan kontribusi yang luar biasa pada saat itu. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa Piagam ini merupakan contoh sebuah Undang-Undang atau konstitusi suatu negara. Kemudian Nabi Muhammad ditempatkan menjadi seorang pemimpin masyarakat dan negara. Dalam mengambil setiap kebijakan negara beliau pasti mempertimbangkan segala bentuk resikonya yang sejalan dengan misi agama Islam. Untuk lebih lanjutnya mari kita bahas dan analisis bersama relasi antara agama dan negara dengan melakukan studi pada Piagam Madinah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Sejarah lahirnya, isi dan konsekuensi Piagam Madinah bagi masyarakat Madinah pada masa itu?
2. Bagaimanakah Relevansi Agama dan negara kaitanya dengan Piagam Madinah?
3. Bagaimana Kontribusi Piagam Madinah terhadap Pemikiran Politik Islam?
C. Pembahasan
1. Piagam Madinah
a. Sejarah lahirnya Piagam Madinah
Hijrah Nabi Muhammad Muhammad merupakan awal dari mulainya periode kedua dari masa kerasulan beliau, yaitu periode Madinah atau Al-`Ahd al-Madani yang telah didahului dengan periode Makkah (Al-`Ahad al-Makki) . Dakwah Nabi di Mekkah dapat dikatakan kurang berhasil. Sampai kepada tahun kesepuluh kenabian baru sedikit orang yang menyatakan diri masuk Islam. Pengejaran dan penyiksaan terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya oleh orang-orang Quraisy merupakan salah satu factor yang mendorong Nabi untuk melakukan hijrah. Dalam menghadapi godaan dan siksaan dari kaum Quraisy Nabi dikuatkan dengan Firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 34, yang berbunyi :

وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ {فصّلت : 34}
Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fushshilat : 34).

Madinah adalah sebuah kota kurang lebih berjarak 400 kilometer di sebelah utara kota Makkah. Kota Yatsrib mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Nabi. Salah satunya adalah Kakek Nabi Abdul Muthalib, lahir dan dibesarkan di Madinah ini sebelum akhirnya menetap di Makkah. Ayah Rasulullah, Abdullah ibn Abdul Muthalib wafat dan dimakamkan di Madinah. Nabi pernah ziarah ke sana bersama ibundanya. Ibunda Nabi wafat dalam perjalanan pulang dari ziarah tersebut.
Sebelum Nabi hijrah beliau bertemu dengan 12 penduduk Madinah mereka menyatakan tunduk dan taat kepada agama Islam dan menerima standar moralitas dasar masyarakat yang mulia, atau sering disebut dengan Baitul Aqabah I. Baitul Aqabah II dilakukan satu tahun kemudian pada saat yang sama yaitu musim haji Nabi bertemu dengan 73 laki-laki dan 2 perempuan. Penduduk yang melakukan Bai`ah inilah yang kemudian disebut dengan kamum ansar (penolong).
Penduduk kota Yatsrib terdiri dari beberapa suku Arab dan Yahudi. Suku Yahudi terdiri Bani Nadzir, Bani Qainuna, dan Bani Quraidzah yang mempunyai kitab suci sendiri, lebih terpelajar dibandingkan penduduk Yatsrib yang lain. Sedangkan suku Arabnya terdiri dari suku Aus, dan Khazraj, di mana kedua suku itu selalu bertempur dengan sengitnya dan sukar untuk didamaikan.
Dan karena perbedaan lingkungan hidup, maka kaum muslimin Anshar dan Muhajirin mempunyai latar belakang kultur dan pemikiran yang sangat berbeda. Hal ini masih di tambah lagi dengan permusuhan sengit yang telah terjadi selama 120 tahun lebih antara dua suku Anshar, yaitu Bani Aus dan Bani Khazraj. Sangat sulit bagi Nabi mengambil jalan tengah untuk mempersatukan mereka dalam kehidupan religius dan politik secara damai.
Selama beberapa minggu di Madinah, Rasul menelaah situasi kota Madinah dengan mempelajari keadaan politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Beliau berusaha mencari jalan bagaimana agar penduduk asli dan kaum muhajirin dapat hidup berdampingan dengan aman. Untuk mengatasi kesulitan yang pertama dan kedua Nabi Muhammad membuat suatu perjanjian dengan penduduk Madinah baik Muslimin, Yahudi ataupun musyrikin.
Dan perjanjian tersebut dikenal dengan istilah Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah atau Al – Dustur al-Madinah.
b. Analisis Isi Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan perjanjian yang disepakati oleh masyarakat Madinah yang digunakan untuk mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat yang majemuk di Madinah. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menelaah dan menganalisis atas piagam itu agar kita dapat mengkaji ulang hubungan antara Islam dengan ketatanegaraan . Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai kandungan isi piagam tersebut.
Dalam buku karya W. Montgomery Watt diterjemahkan oleh Hamid Fahmi Zarkasyi dan Taufiq Ibnu Syam yang berjudul asli “Islamic Political Thought” menjelaskan bahwa point-point penting isi dari Piagam Madinah adalah sebagai berikut:
1) Orang-orang beriman baik dari suku apapun merupakan suatu komunitas (ummah).
2) Setiap suku atau bagian dari suku masyarakat bertanggung jawab terhadap harta rampasan atau uang tebusan atas nama masing-masing anggotanya (pasal 2-11)
3) Masyarakat diharapkan menunjukan kekompakan dalam mengahadapi tindakan kriminal, dan tidak membantu tindakan kriminal (pasal 13,21)
4) Masyarakat diharapkan untuk menunjukan ras kekompakan yang penuh dalam menghadapi orang-orang yang tidak beriman, baik dalam situasi damai maupun situasi perang (pasal 14, 17, 19, 44), solidaritas dalam pemberian perlindungan tetangga (pasal 15)
5) Orang yahudi yang berasal dari berbagai kelompok adalah milik masyarakat dan mereka harus menjaga agama mereka sendiri, mereka dan orang Islam harus saling membantu(termasuk bantuan militer) (pasal 24-35, 37, 38, 46)
Menurut J. Sayuthi Pulungan prinsip-prinsip hak asasi dan politik pemerintahan dalam Piagam Madinah dikaitkan dengan Al-Qur`an adalah: 1. Prinsip Umat, 2. Prinsip persatuan dan persudaraan, 3. Prinsip persamaan, 4. Prinsip kebebasan, 5. Prinsip hubungan antarpemeluk agama, 6. Prinsip pertahanan, 7. Prinsip hidup bertetangga, 8. Prinsip tolong-menolong dan membela yang lemah dan teraniaya, 9. Prinsip perdamaian, 10. Prinsip musyawarah, 11. Prinsip keadilan, 12. Prinsip pelaksanaan hukum, 13. Prinsip kepemimpinan, 14. Prinsip ketakwaan, amar-ma1`ruf nahi munkar.
Berdasarkan beberapa kesimpulan oleh para ahli tersebut, penulis akan mencoba menganalisa isi Piagam Madinah tersebut yang terdiri dari 47 pasal. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai isi piagam tersebut maka penulis mencantumksan isinya dan kemudian dianalisa langsung per-pasal. Menurut hemat penulis dari 47 pasal tersebut, penulis merumuskan point-point penting yang terdapat dalam piagam tersebut yaitu:
1. Muqodimah (pembukaan)
Piagam dimulai dengan Muqodimah (pembukaan) teksnya yaitu sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahim
Ini adalah kitab (ketentuan tertulis) dari Muhammad Nabi, Nabi SAW antara orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari Quraisy dan warga Yastrib yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri dengan mereka, dan berjuang bersama mereka.

Kalimat ini merupakan pembukaan karena menurut penulis disitu hanya menyebutkan pengertian atau maksud dan siapa yang terlibat dalam perjanjian tersebut belum masuk pada pasal yang mengandung isi perjanjian yang disepakati.
2. Pasal 1-11 Pembentukan umat dan kebebasan beragama, kurang lebih teksnya sebagai berikut:
1. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu utuh, tidak termasuk golongan lain.
2. Golongan Muhajirin dari warga Quraisy dengan tetap mengikuti adat kebiasaan baik yang beraku di kalangan mereka, mereka bersama-sam a menerima dan membayar tebusan darah mereka, dan menebus tawanan mereka dengan cara yang makruf dan adil di antara mereka.
3. Bani `Auf dengan menurut adat kebiasaan baik mereka yang beraku, mereka bersama-sam a menerima dan membayar tebusan darah mereka seperti semula, dan setiap golongan menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang makruf dan adil di antara orang-orang mukmin.

Pasal 4 sampai 10 isinya sama akan tetapi ditujukan pada golongan yang berbeda yaitu pasal 4. Bani Al-bin Al-Khazraj, 5. Bani Sa`idah, 6. Bani Jusyam, 7. Bani An-Najjar, 8. Bani `Amr bin `Auf, 9. Bani An-Nabit, 10. Bani Al-Aus.
Pada pasal 1 kata mereka menunjuk kepada semua penduduk Madinah yang menyepakati piagam ini. Pasal satu ini merupakan sebuah konsolidasi yang dilakukan Nabi Muhammad terhadap seluruh penduduk Madinah yang sebelumnya mereka tidak bisa bersatu. Umat yang satu disini berarti semua penduduk memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 2-10 adalah hak kebebasan yang diberikan kepada seluruh warga Madinah untuk bebas memiliki kepercayaannya masing-masing dan tidak memaksakan untuk memeluk Islam. Kebebasan mutlak untuk dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna menjamin keutuhan masyarakat yang pluralistik. Kebebasan-kebebasan tersebut yaitu kebebasan melakukan adat kebisaan yang baik, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hal, kebebasan dari rasa takut, dan kebebasan berpendapat. Sehingga semua warga tetap bisa berpegang teguh pada keyakinannya yang lama dengan damai tanpa adanya permusuhan.
3. Pasal 11-15 adalah Persatuan Seagama, berikut kutipan teks pasalnya:
11. Sesungguhnya orang-orang mukmin tidak boleh membiarkan seorang diantara mereka menanggung beban utang dan beban keluarga yang harus diberi nafkah, tetapi membantunya dengan cara yang baik dalam menebus tawanan atau membayar diyat.
12. Bahwa seorang mukmin tidak boleh persekutuan atau aliansi dengan keluarga mukmin tanpa persetujuan yang lainnya.
13. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus melawan orang yang memberontak diantara mereka, atau orang yang bersikap zalim atau berbuat dosa, atau melakukan permusuhan atau kerusakan di antara orang-orang mukmin, dan bahwa kekuatan mereka bersatu melawannya walaupun terhadap anak salah seorang dari mereka.
14. Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang Mukmin lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh membantu orang kafir untuk melawan orang mukmin.
15. Sesungguhnya jaminan (perlindungan ) Allah hanya satu, Allah melindungi orang yang lemah diantara mereka, dan sesungguhnya orang-orang mukmin sebahagian mereka adalah penolong atau pembela terhadap sebagian bukan golongan lain.

Pasal 11 sampai pasal 15 ini membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang mukmin sendiri. Hal tersebut mecerminkan persatuan seagama didalam orang-orang mukmin.
4. Pasal 16-24 Persatuan segenap warga Madinah, berikut kutipan teksnya:
16. Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita behak mendapat pertolongan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada yang menolong musuh mereka.
17. Sesungguhnya perdamaian orang-orang mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.
18. Sesungguhnya setiap pasukan yang berperang bersama kita satu sama lain harus saling bahu membahu.
19. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu sebagian membela sebagian yang lain dalam peperangan di jalan Allah.
20. a. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa selalu berpedoman pada petunjuk yang terbaik dan paling lurus.
b. Sesungguhnya orang musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak campur tangan terhadap lainnya yang melawan orang mukmin.
21. Sesungguhnya barang siapa membunuh seorang mukmin dengan cukup bukti maka sesungguhnya ia harus dihukum bunuh dg sebab perbuatannya itu, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat) dan seluruh orang-orang mukmin bersatu untuk menghukumnya.
22. Sesungguhnya tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui isi shahifat ini dan beriman kepada Allah dan Hari akhir menolong pelaku kejahatan dan tidak pula membelanya. Siapa yang menolong atau membelannya maka sesungguhnya ia akan mendapat kutukan dan amarah Allah di Hari kiamat, dan tidak ada sesuatu penyesalan dan tebusan yang dapat diterima daripadanya.
23. Sesungguhnya apabila kamu berbeda (pendapat) mengenai sesuatu, maka dasar penyelesaiannya (menurut ketentuan) Allah dan Muhammad.
24. Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang bekerjasama dalam menanggung pembiayaan selama mereka mengadakan peperangan bersama.

Dalam piagam ini juga terdapat ketetapan – ketetapan yang mengatur hubungan sosial dan politik, pertahanan dan keamanan, belanja peperangan. Hal ini tercermin dalam pasal 16-24 yang ketentuan-ketentuan tersebut sebagai upaya untuk persatuan segenap warga Madinah. Semua warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama tanpa membedakan agama dan suku.
5. Pasal 25-35 Golongan Minoritas
25. Sesungguhnya Yahudi Bani `Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau khianat, karena sesungguhnya orang-orang yang demikian hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya.

Pasal 26 sampai 35 mempunyai makna yang sama dengan pasal 25 hanya saja disebutkan satu persatu Bani-Bani yang ada di Madinah yaitu 26. Bani al-Najjar, 27. Bani Al-Harits, 28. Bani Sa`idat, 29. Bani Jusyam, 30. Bani al-Aus, 31. Bani Tsa`labat, 32. Jafnat keluarga Tsa`labat, 33. Bani Syuthaibat, 34. Sekutu-sekutu Tsa`labat, 35. Orang-orang dekat atau kepercayaan kamu Yahudi.
Komposisi masyarakat Madinah begitu kompleks dan pluralistik, apabila hal tersebut tidak di perhatikan dan tidak ada perlakuan yang sama kepada setiap suku-suku yang ada hal ini akan menimbulkan permasalahan dalam masyarakat tersebut. Dalam piagam ini semua Bani-bani yang hidup di Madinah mempunyai hak dan perlakuan yang sama tidak ada diskriminasi terhadap golongan yang minoritas.
6. Pasal 36-38 Tugas warga Negara
36. a. Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka (penduduk Madinah) dibenarkan keluar kecuali dengan izin Muhammad.
b. Sesungguhnya tidak dihalangi seorang menuntut haknya (balas) karena dilukai, dan siap yang melakukan kejahatan berarti ia melakukan kejahatan atas diri dan keluarganya, kecuali teraniaya. Sesungguhnya Allah memandang baik (ketentuan ini)
37. a.Sesungguhnya kaum Yahudi wajib menanggung nafkah mereka dan orang-orang mukmin wajib menanggung nafkah mereka sendiri. Tapi, di antara mereka harus ada kerja sama atau tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang warga shahifat ini, dan mereka saling member saran dan nasihat dan berbuat kebaikan, bukan perbuatan dosa.
b. Sesungguhnya seseorang tidak ikut menanggung kesalahan sekutunya, dan pertolongan atau pembelaan diberikan kepada orang teraniaya.
38. Sesungguhnya kaum Yahudi bersama orang-orang mukmin bekerjasama menanggung pembiayaan selama mereka menghadapi peperangan bersama.

Setiap warga memiliki tugas dan kewjiban yang sama sebagai anggota masyarakat. Dari isi pasal 36, 37, 38 tersebut disebutkan bagaimanakah tugas yang harus dilakukan sebagai penduduk Madinah. Adanya ketetapan tugas ini untuk menjamin serta melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam pemerintahan di Madinah.
7. Pasal 39-41 Melindungi Negara
39. Sesungguhnya Yastrib dan lembahnya suci bagi warga shahifat ini.
40. Sesungguhnya tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh dimudarati dan diperlakukan secara jahat.
41. Sesungguhnya tetangga wanita tidak boleh dilindungi kecuali izin keluarganya .

Sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang adil damai dan rukun maka semua anggota masyarakat harus menjaga dan melindungi negaranya.
8. Pasal 42-44 Pimpinan Negara
42. Sesungguhnya bila diantara pendukung shahifat ini terjadi suatu peristiwa atau perselisihan yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya atau kerusakan, maka penyelesainnya (menurut) ketentuan Allah dan Muhammad saw, sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik isi shahifat ini.
43. Sesungguhnya tidak boleh diberikan perlindungan kepada Quraisy dan tidak pula kepada orang yang membantunya
44. Sesungguhnya diantara mereka harus ada kerjasama, tolong menolong untuk menghadapi orang yang menyerang kota Yastrib.

Pentingnya adanya seorang pemimpin dalam sebuah komunitas, maka warga madinah mengakui bahwa Nabi Muhammad sebagai pimpinan mereka. Hal ini tercermin dari uraian pasal 42 tersebut diatas bahwa apabila terdapat perselisihan maka penyelesaiannya berdasarkan pada ketentuan Allah dan Muhammad. Ketentuan Allah ini adalah melalui Nabi Muhammad sebagai wakilnya di bumi.
9. pasal 45-46 Politik Perdamaian
45. a. Apabila mereka (pihak musuh) diajak untuk berdamai, mereka memenuhi ajakan damai dan melaksanakannya, maka sesungguhnya merek menerima perdamaian itu dan melaksanakannya, dan sesungguhnya apabila mereka (orang-orang) mukmin diajak berdamai seperti itu maka sesungguhnya wajib bagi orang mukmin menerima ajakan damai itu, kecuali terhadap orang yang memerangi agama.
b. Sesungguhnya setiap orang mempunyai bagiannya masing-masing dari pihaknya sendiri.
46. Sesungguhnya kaum Yahudi al-Aus, sekutu, dan diri mereka memperoleh hak dan kewajiban seperti apa yang diperoleh kelompok lain pendukung shahifat ini serta meperoleh perlakuan yang baik dari semua pemilik shahifat ini, sesungguhnya kebaikan berbeda dg kejahatan. Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sesungguhnya Allah membenarkan dan memandang baik apa yang termuat dalam shahifat ini.

Mengingat kondisi masyarakat Madinah sebelum adanya Nabi Muhammad yang begitu akrab dengan peperangan maka penting adanya pasal yang mengatur mengenai upaya untuk perdamaian karena pada dasarnya itu yang menjadi keinginan seluruh warga Madinah. Sehingga dalam piagam tersebut juga dituliskan mengenai ketentuan perdamaian yang menjadi landasan bagi penduduk Madinah dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan sebelum berperang artinya sebagai upaya pencegahan.
10. Pasal 47 Penutup.
47. Sesungguhnya tidak ada orang akan melanggar ketentuan tertulis ini kalu bukan penghianat dan pelaku kejahatan. Siapa saja yang keluar dari kota Madinah dan atau tetap tinggal di dalamnya aman, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Sesungguhnya Allah pelindung bagi orang yang berbuat baik dan takwa dan Muhammad adalah rasulullah saw.

Berdasarkan uraian diatas mencerminkan bahwa Piagam Madinah bisa dikatakan sebagai sebuah Undang-undang atau konstitusi. Undang-undang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ketentuan atau peraturan Negara, peraturan yang dibuat oleh orang atau badan yang berkuasa. Sehingga bisa dikatakan bahwa piagam ini tanpa disadari merupakan landasan utama terbentuknya Negara Madinah.
Dalam perjanjian itu ditetapkan tugas dan kewajiban Kaum Yahudi dan Musyrikin Madinah terhadap Daulah Islamiyah di samping mengakui kebebasan mereka beragama dan memiliki harta kekayaannya. Dokumen politik, ekonomi, sosial dan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Musyrikin, maupun Yahudinya.
Dalam implementasinya dari segi ekonomi dan sosial dinyatakan misanya bahwa orang kaya harus membantu dan membayar hutang orang miskin, kewajiban memelihara kehormatan.
c. Konsekuensi Piagam Madinah
Salah satu kekuatan negara terletak pada ideologinya , Piagam Madinah merupakan salah satu bentuk ideologi yang telah disepakati bersama antara kaum Muhajirin, Anshar dan Yahudi. Isi dari Piagam tersbut bukan semata-mata keinginan Nabi Muhammad sendiri tetapi merupakan analisis beliau terhadap permasalahan serta konflik yang terjadi di dalam masyarakat Madinah sebelum adanya Piagam tersebut. Dengan adanya piaga tersebut keadaaan masyarakat Madinah semakin membaik dan hubungan antar suku juga terjaga.
Nabi Muhammad datang dengan membawa perubahan. Nabi Muhammad meletakkan konsep ukhuwah serta melindungi semua warga masyarakat Madinah termasuk golongan minoritas. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama karena mereka adalah satu komunitas (ummah). Beliau mengajarkan penghapusan kelas antara orang kaya dengan orang miskin, golongan buruh dengan golongan juragan. Yang ada hanyalah hubungan persaudaraan, saling mengasihi dan menyantuni pada yang membutuhkan. Beliau telah dapat menciptakan jalinan yang suci dan murni dan telah berhasil mengikat suku Aus dan Khazraj dalam suatu hubungan cinta kasih dan persaudaraan.
Perjanjian ini sebenarnya tidak berlangsung lama, selang beberapa lama kemudian kaum Yahudi merasa tidak senang dan melanggar serta menghianati perjajian yang telah disepakati bersama. Sehingga kemudian terjadi perang antara kaum muslimin dengan kamum Yahudi.
2. Analisis Relevansi Agama dan Negara dalam Piagam Madinah
Agama dan negara memiliki hakikat yang berbeda, agama adalah kabar gembira dan peringatan (QS. Al-Baqarah : 119) sedangkan negara kekuasaan tertinggi setelah Tuhan dan memiliki kekuatan pemaksa (coercion). Dalam agama ada sistem dosa-pahala, surga-neraka, halal-haram. Konsep zakat dalah kewajiban agama sedangkan pajak adalah kewajiban terhadap negara. akan tetapi keduanya mempunyai relasi yang sangat kuat, Negara merupakan tempat pelaksanaan hukum-hukum syariat Islam. Sebab, Hukum-hukum Syari`at tersebut secara umum didasarkan pada pemikiran kesatuan ummat dan masalah-masalah sosial lainya.
Agama dan negara keduanya memang dilaksanakan dan dilakukan oleh manusia, dalam konteks agama manusia sebagai hamba dan dalam konteks negara manusia sebagai rakyat. Akan tetapi pluralisme agama dalam sebuah negara merupakan sesuatu hal yang lumrah. Apabila hal ini tidak disikapi secara bijak oleh negara dan agama itu sendiri akan menimbulkan pertentangan dan permusuhan antar agama dalam satu negara, sebagaimana kasus yang terjadi di Madinah sebelum adanya Islam.
Agama dan negara mempunyai tanggungjawab bagaimana mengatasi dan meminimalisir konflik-konflik tersebut. Sehingga, hal ini menuntut adanya sebuah konsensus dalam sebuah masyarakat negara supaya tercapai masyarakat negara yang damai. Konsensus dalam Islam telah dicontohkan Rosulullah salah satunya adalah dalam Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah Rosulullah mengajarkan konsep pluralisme positif. Yaitu pentingnya kesadaran masyarakat mengingat bahwa selain agama sendiri ada agama orang lain yang harus dihormati (pluralisme). Konsep positif bisa dicerminkan dengan salah satu sikap bahwa masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya. Agama Islam menjamin hak-hak masyarakat selain Islam untuk diberlakukan secara adil pada semua golongan.
Dalam surat al-Kafirun ayat 6 disebutkan:


“untukmu agamamu, untukku agamaku”
Relasi antara agama dan negara dalam Piagam Madinah merupakan gambaran yang nyata adanya hubungan yang simbiotik mutualistik antara agama dan Negara. Piagam Madinah berfungsi mengatur hidup masyarakat sebagai kolektivitas yang disebut negara, sehingga Piagam Madinah disini bisa dikatakan sebagai landasan atau Undang-undang suatu negara, dalam konteks ini negara yang dimaksud adalah Madinah. Sedangkan agama memberikan kepada kolektivitas tersebut tujuan kemasyarakatan (social purpose). Tanpa tujuan kemasyarakatan yang diharapkan bersama yang nyata dan jelas, hidup masyarakat hanya akan berputar-putar pada pemikiran masing-masing dan akibatnya semua merasa paling hebat dan pantas memimpin dan tidak pernah menemukan konsep yang jelas untuk mendamaikan seluruh lapisan masyarakat yang plural.
Hubungan simbiotik kuasa antara agama dengan negara memperlihatkan semacam hubungan dalam pemberian legitimasi. Proses pemberian legitimasi bisa dari agama atas negara, bisa pula dari negara atas agama. Kita perhatikan dalam Piagam Madinah secara halus ada proses legitimasi pada agama atau kepercayaan agama lain. Kita melihat ada satu model di mana ada agama negara atau agama yang diakui negara diberi legitimasi, sementara itu tetap megakui pluralitas agama.
Pada Piagam madinah menunjukan hubungan agama dan negara yang bersifat dualistik, negara yaitu seluruh masyarakat Madinah memberikan legitimitas pada kepercayaan – kepercayaan yang ada, termasuk Islam, dan agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat memberikan legitimas pada negara. Negara tidak harus berbentuk negara Islam, asal tidak bertentangan dengan Islam.
Negara merupakan bagian dari agama, maka perlu ada negara yang formal. Akan tetapi negara tidak bisa diintervensi oleh agama. Dalam Piagam Madinah terdapat relasi yang unik antara agama dan negara dimana keduannya merupakan institusi yang berbeda tetapi memiliki relasi yang positif (mutualistik).
3. Kontribusi Piagam Madinah terhadap Pemikiran Politik Islam
Berdasarkan paparan di atas mengidentifikasikan bahwa antara agama dan negara ada relasi yang saling mendukung satu sama lain. Karena negara tidak bisa dipisahkan dari unsur politik, maka dari itu penulis ingin mencoba menganalisa pemikiran politik Islam yang ada dalam Piagam Madinah. Untuk bisa mengetahui dan menganalisis bagaimana kontribusi pemikiran politik Islam dari Piagam Madinah maka kita harus mengetahui hakikat pemikiran politik terlebih dahulu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pemikiran merupakan proses, cara, perbuatan memikir . Dalam beberapa istilah politik juga bisa disebut sebagai siyasat, menurut Ibnul al-Qayyim yang dinukilkan dari Ibnu `Aqil yang telah dikutip oleh J.Suyuthi Pulungan bahwa siyasat adalah:
“setiap langkah perbuatan yang membawa manusia dekat dengan kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan, walaupun Allah tidak menetapkan dan tidak mewahyukan”.

Pemikiran politik Islam bisa dikatakan sebagai cara berpikir mengenai langkah atau kebijakan yang bisa membawa manusia dalam kemaslahatan dan perdamaian berdasarkan asas-asas Islam. Dalam pembahasan ini penulis hanya fokus menganalisis bagaimana kontribusi pemikiran politik Islam dalam Piagam Madinah.
Piagam Madinah merupakan salah satu bukti bahwa dalam Islam telah mengajarkan sebuah konsensus dalam menyelesaikan konflik-konflik antar golongan dalam satu kelompok atau komunitas. Konsep yang ada dalam Piagam tersebut mengajarakan mengenai bagaimana seharusnya golongan-golongan yang berbeda bisa menjadi satu umat yang rukun dalam satu wilayah atau tatanan masyarakat. Untuk lebih mudah memahami apa yang diingikan penulis terkait kontribusi pemikiran politik Islam tersebut, penulis mencoba menjelaskan bagaimanakah kontribusinya dalam point-point dibawah ini:
a. Negosiasi dan Konsolidasi
Tokoh utama dalam Piagam Madinah tersebut adalah Rosulullah SWT. Seorang nabi yang cerdas dan amanah. Ide – ide pemikiran jernih beliau terkait siyasat untuk menyatukan masyarakat Madinah merupakan implementasi dari kecerdasan beliau dalam melakukan negosiasi sebagai upaya konsolidasi umat. Rasulullah mengorganisir dan mempersatukan umat dalam satu komunitas tanpa membedakan suku, ras, kelas dan kasta.
b. Konsensus
Dalam sebuah negara saat ini Konstitusi atau UU mutlak diperlukan, selain sebagai salah satu syarat terbentuknya negara hal ini juga merupakan aturan yang mengikat warga masyarakat agar berlaku sebagaimana yang diharapkan bersama. Piagam Madinah merupakan salah satu bentuk konsensus yang diajarkan Rosulullah.
c. Keadilan dan Toleransi
Keadilan dan toleransi merupakan tuntutan yang harus ada dalam kehidupan masyarakat, tanpa keduanya tatanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak akan terlaksana dengan baik. Sehingga pemimpin negara dituntut untuk bisa menerapkan politik tersebut terhadap masyarakatnya. Dalam Piagam Madinah telah jelas memberikan contoh adanya keadilan dan toleransi terutama bagi golongan minoritas dan kaum yahudi. Islam tidak berlaku semena-mena meskipun dalam komunitas yang mayoritas.
d. Konsep hak dan kewajiban
Sebagaimana diungkapkan diatas bahwa negara mempunyai kekuatan memaksa, tetapi negara juga harus memberikan hak-hak terhadap masyarakat. Dalam Piagam Madinah terdapat kewajiban umum yang harus dilakukan semua golongan dan memberikan hak kepada setiap golongan untuk bebas beragama.
e. Musyawarah dan hak mengeluarkan pendapat
Masyarakat sekarang lebih akrab menyapa musyawarah dengan istilah rapat. Musyawarah ini sudah menjadi kebutuhan dalam percaturan perpolitikan, bahkan dalam segala aspek kehidupan musyawawah selalu digunakan. Hal ini mengingat pentingnya musyawarah sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan point-point tersebut letak kontribusi Piagam Madinah terhadap pemikiran politik Islam sedikit tercover, meskipun belum bisa dikatakan komprehensif.
D. Kesimpulan dan Saran
Agama dan negara keduanya memiliki pedoman dalam mengatur manusia. Agama mempunyai kitab suci dan negara memiliku Undang-undang atau konstitusi. Dalam prakteknya Undang – undang dalam sebuah negara ternyata sejalan dengan makna dan kandungan yang ada dalam kitab suci dalam Islam jelas al-Qur`an. Kedua pedoman tersebut sama-sama mengatur tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan, dalam konteks ini tentunya tidak semua isi kitab suci demikian.
Dalam Piagam Madinah merupakan refleksi dari upaya agama dalam membentuk sebuah komunitas dan kemudian bisa menjadi konsep negara, meskipun tidak secara sengaja bahwa Piagam tersebut menjadi dasar sebuah negara Madinah pada masa itu. Paling tidak konsep dari Piagam tersebut bisa menjadi salah satu acuan dan contoh bagi negara Islam untuk membuat konsensus atau konstitusi sebagai pengikat masyarakatnya.
Tidak ada salahnya apabila kita mengambil hikmah yang baik dari adanya Piagam Madinah tersebut, kemudian kita terapkan misalnya dalam kelompok kita seperti dalam organisani.
E. Penutup
Demikian makalah pembanding ini penulis buat, penulis menyadari banyak kekurangan dari makalah ini. Untuk itu penulis mengaharapkan kritik serta saran yang konstruktif untuk kebaikan makalah tersebut. Terimakasih
DAFTAR PUSTAKA

al-Buthy, Muhammad Sa`id Ramadhan, 1995, Fiqhu `s-Sirah, Dirasat Manhajiah `Ilmiah Li Sirati `L-Musthafa `alaihi `sh-Shalatu wa `s-Slam, terjemahan Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Jakarta: Robbani Press, cet. 5.
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur-Rahman, 1997, Ar-Rahiqul Mahktum, Bahtsum Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, Terjemahan Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al-kAutsar.
Departemen Agama RI, 2009, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Edisi 4.
Hasjmy, 1975, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, cet. II.
Lapidus, Ira M., 1999, A History Of Islamic Societies, Terjemahan Ghufran A. Mas`adi, Jakarta: PT. Rajha Grafindo Persada.
Pulungan, J. Sayuthi, 1996,Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur`an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. I, Edisi I.
S. El-Wa, Mohamed, 1983, On The Political System Of Islamic State, terjemahan Anshori Thajib, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Watt, W. Montgery, 1987, Islamic Political Thought, Terjemahan Hamid Fahmi Zarkasyi, Jakarta: PT. Beunebi Cipta.
______________, 1977, Muhammad Prophet and Statesman, New York: Oxford.

FILSAFAT EMPIRISME (STUDI PEMIKIRAN DAVID HUME)

FILSAFAT EMPIRISME
(STUDI PEMIKIRAN DAVID HUME)
A. PENGANTAR
Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme bahwa pegetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka, di inggris.
Konsep mengenai filsafat empirisme muncul pada abad modern yang lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Descartes adalah salah seorang yang berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat. Descartes menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum yang artinya saya berpikir, maka saya ada.(Ilyas Supeno, tt: 3).
Teori pengetahuan yang dikembangkan Descartes dikenal dengan rasionalisme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman atau empirisme. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme, di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume. Dalam makalah ini tidak akan membahas semua tokoh empirisme, akan tetapi akan dibahas empirisme David Hume yang dianggap sebagai puncak empirisme yang paling radikal.

B. RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa masalah terkait dengan latar belakang penulisan makalah ini yaitu:
1. Bagaimanakah konsep empirisme tersebut?
2. Bagaimanakah pemikiran empirisme David Hume?
C. PEMBAHASAN
1. Konsep Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan mengecilkan peranan akal. Empirisme dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Paham empirisme ini mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:
1. Teori tentang makna
Teori pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu asal usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil Est in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning Human Understanding” yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate Idea) kepada orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan keadaannya kosong laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap ide yang diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini adalah pengalaman indrawi. Hume mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya “Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan, dan kesan itu mencakup penginderaan, passion dan emosi.
2. Teori pengetahuan
Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh keluar intuisi rasional. Empirisme menolak hal demikian karena tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.


Poedjawijatna (1997:105) menyatakan bahwa empirisme berguna dalam filsafat pada umumnya karena dengan empirisme ini filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia sebagai keseluruhan. Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
a. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
c. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Dari beberapa pandangan mengenai paham empirisme tersebut diatas, menurut penulis empirisme adalah yang suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan. Sehingga setiap orang yang menyatakan telah memiliki pengetahuan dia harus bisa membuktikan apa itu pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dapat di ketahui oleh indra manusia.
2. David Hume
a. Riwayat Kehidupan David Hume (1711-1776)
Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada April 26, 1711 anak bungsu dalam keluarga yang baik tetapi tidak kaya. Ayahnya meninggal ketika Hume masih kecil, dan ia dibesarkan oleh ibunya di perkebunan keluarga Ninewells, dekat Berwick. Hume adalah seorang murid yang sukses, dan sebagai anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap sastran dan filsafat. Solomon (2002: 390) menyebut bahwa filsafat Hume adalah skeptisisme yang menyeluruh. Tahun 1723 ia masuk Universitas Edinburgh, studi pada hukum sesuai keinginan ibunya (Lavine, 1984: 137). Selama tiga tahun studi hukum dia membangun pandangan filsafatnya.
Pada musim gugur 1729 dia mengalami gangguan kejiwaan parah (Vapor) selama 5 tahun. Hal ini disebabkan karena dia mengalami perasaan puas pertama kali dia membantai raksasa segala ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi padahal umurnya masih relatif muda. Karena kejadian ini dia memutuskan mundur dari dunia filsafat, akan tetapi kemudian justru dia mengambil keputusan untuk pergi ke Prancis Pada usia 23 tahun, ke La Fleche tempat perguruan Jesuit Descrates dulu untuk upaya penyembuhan dari penyakitnya. Disana dia menyelesaikan buku pertamanya yaang hampir selesai pada tahun 1737, Treatise of Human Nature, saat usianya masih 26 tahun (Robbert Cummins and David Owen, 1998: 325). Hume memiliki harapan yang tinggi pada karya ini, tetapi penerbitan karya ini tidak banyak mendapat perhatian.
Meskipun patah semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di tahun 1741-1742 saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political. Karya ini mendapatkan kesuksesan, dan Hume bersemangat untuk merevisi Treatise. Akan tetapi, Hume tidak pernah bisa mendapatkan gelar profesor baik di Universitas Edinburgh dan Glasgow, karena skeptismenya dan dia ateis, mencemooh keyakinan beragama (Lavine, h. 139). Dia kembali ke Prancis 1763 sebagai sekretaris duta besar Inggris.
Pada tahun 1751, revisi terakhir bagian pertama dan ketiga karya Treatise diterbitkan masing-masing dengan judul An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning The Principles of Morals. Kira-kira pada saat yang sama, Hume menulis karya yang berjudul Dialogue Concerning Natural Religion. Dialogue menjelaskan sikap Hume tentang eksistensi Tuhan dan sifat agama. Namun atas saran teman yang memiliki perhatian terhadap sifat pandangannya yang radikal, Hume tidak jadi menerbitkan Dialogue. Dengan ketetapan dari kehendak Hume, karya itu diterbitkan setelah Hume meninggal di tahun 1779 (Robbert Cummins and David Owen, 1998: 326).
Antara tahun 1752-1757, Hume mengabdi sebagai petugas perpustakaan di Faculty of Advocates di Edinburg (Joko Siswanto, 1998: 49). Setelah mendapatkan sumber-sumber dari perpustakaan ini, Hume menulis tentang sejarah Inggris. Karya ini tidak hanya panjang, tetapi juga kontroversial. Bagaimanapun, sebagai akibatnya, semua tulisan Hume menjadi lebih dikenal dan karya-karya itu mendapat pujian luas dari beberapa kalangan. Pujian tersebut terutama datang dari kalangan intelektual Perancis dan ketika Hume pergi ke sana pada tahun 1763 sebagai sekretaris Duta Besar Inggris, ia menerima sambutan hangat. Ia kembali ke London di tahun 1766 bersama Rousseau, meskipun hubungan antara keduanya segera menegang (Bertrand Russell, 1946). Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary of State, Hume pensiun di Edinburg dan meninggal di sana tahun 1776.
b. Pemikiran Hume
Skeptisme mendasar dalam pikiran Hume menentang terhadap tiga pemikiran sebelumnya. Hume melawan ajaran-ajaran rasionalitas tentang idea-idea bawaan. Selanjutnya menyerang pemikiran religius, entah dari katolik, Anglikan, maupun Penganut Deisme. Terakhir serangan pada empirisme sendiri yang masih percaya pada substansi (F. Budi Hardiman, 2004: 87).
Hume mengungkap karya-karya Francis Hutcheson, seorang filsuf moral dari Skotlandia di Universitas Glasgow, yang berpendapat bahwa prinsip moral tidak berdasarkan kitab injil, seperti dikatakan penganut kristiani, juga tidak berdasarkan akal pikiran, seperti pendapat Plato dan Socrates. Keyakinan Moral Menurut Hutcheson terdapat pada perasaan kita, sentimen setuju atau tidak setuju kita (Lavine, 1984: 137).
Kemudian dengan mengembangkan pandangan Hutcheson dan menggabungkan empirisme Locke dan Berkeley, Hume berpendapat bahwa pengetahuan didapat hanya dari persepsi panca indra (Lavine, 1984: 138). Hume memulai pemikiran kontroversialnya melalui penggabungan dua konsep tersebut, yaitu bahwa pengetahuan terbaik kita, hukum ilmiah, bukanlah apa-apa melainkan persepsi pengindraan yang meyakinkan perasaan kita. Karena itu meragukan sekali bahwa kita memiliki pengetahuan, kita hanya mempunyai persepsi panca indra dan perasaan. Dalam pemikiran Hume, ada skeptisme radikal, bentuk keraguan ekstrem atas kemungkinan bahwa kepastian dalam pengetahuan merupakan hal yang bisa dicapai.
1) Tentang Teori Pengetahuan Hume
a) Landasan Segala Pengetahuan
T.Z. Lavine (1984: 140) mengungkapkan Hume dalam bukunya Treatise of Human Nature bagian pendahuluan, dia mengatakan bahwa tujuan penulisannya adalah untuk mempelajari ilmu pengetahuan mengenai manusia dan menjelaskan prinsip-prinsip sifat alamiah manusia. Menurutnya ilmu pengetahuan lainnya didasarkan pada ilmu pengetahuan mengenai manusia. Sehingga mempelajari ilmu tersebut, merupakapan proses mempelajari landasan segala pengetahian manusia. Untuk membuktikan ini Hume mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan pertanyaan para penganut empirisme sebagai berikut: Bagaimana Anda Tahu? Apa yang menjadi asal pengetahuan kita? Apa yang menjadi batasan pengetahuan manusia?
Dari pertanyaan tersebut dia mengetahui apa sebenarnya yang akan dia tunjukan: bahwa kita tidaklah memiliki pengetahuan, melainkan sekedar keyakinan bahwa yang kita rasakan itu benar. Karena menurutnya semua pengetahuan dimulai dari pengalaman indra sebagai dasar (Ahmad Tafsir, 2001: 181).
Steven M. Cahn ( 2009: 136) menyatakan bahwa menurut Hume sumber pengetahuan adalah pengamatan persepsi pengindraan bukan ide bawaan (ide innate). Hasil dari pengamatan tersebut adalah kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas) . Isi ide dan kesan adalah sama perbedaannya adalah cara timbul dalam kesadaran (Harun Hadi Wijaya, 2000: 53).
Kesan adalah sensasi, hasrat, dan emosi seketika, data dari perbuatan melihat, menyentuh, mendengar, keinginan, mencintai, membenci seketika. Gagasan adalah gambar salinan atau samar dari kesan. Perbedaan Kesan dan gagasan adalah kesan memiliki kekuatan dan kenampakan yang lebih besar. Gagasan hanyalah gambar dari kesan kita, yang terdapat di dalam pemikiran, penalaran, dan pengingatan.
Semua pengalaman manusia menurut Hume termasuk golongan penghayatan atau golongan ide-ide (Brouwer, 1986: 62). Hume menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua kategori. Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple.
b) Kritik Keras atas Doktrin Dua Jenis Pengetahuan
Alasan Hume mengawali buku Treatise-nya dengan landasan pengetahuan manusia adalah untuk menanyakan apa yang menjadi landasan pengetahuan. Maka untuk menunjukan bahwa hanya ada satu landasan pengetahuan, berisi satu pengetahuan saja, pengetahuan oleh persepsi panca indra. Dia ingin meruntuhkan dua jenis pengetahuan menurut filsafat lama yaitu: 1. Pengetahuan biasa tingkat bawah mengenai alam kasat mata, alam yang berubah-ubah menurut Plato disebut opini sejati dan Descrates menamakan ide pemikiran indra yang membingungkan. 2. Bagi Plato dan Descrates ada tingkatan tinggi pengetahuan dengan penalaran sebagai sumbernya dan menciptakan kepastian (T.Z. Lavine, 1984: 141).
Hume membantah kedua jenis pengetahuan tersebut, pemikiran bahwa ada jenis pengetahuan tingkat atas yang bisa dicapai filsuf dengan akalnya, pengetahuan realitasnya, pengetahuan metafisika adalah keliru hanyalah ilusi. Kata Hume kita tidak akan pernah tahu alam realitas yang sebenarnya. Para filsuf yang mengatakan bahwa mereka mengetahui alam realitas yang sebenarnya adalah penjahat dan sangat bodoh, karena apa yang diketahui manusia terbatas pada persepsi panca indra. Pemikiran manusia itu terbatas, sesuatu yang dicari metafisika ini, tidak akan kita ketahui. Hume mengatakan bahwa doktrin dasar atas metafisika bahwa ada dua jenis pengetahuan, pengetahuan biasa dengan persepsi panca indra dan pengatahuan metafisika tingkat tinggi dengan pemikiran atau akal, adalah omong kosong.
Menurut Steven M. Cahn (2009: 137) bahwa Hume membagi pengetahuan menjadi dua. Pertama pengetahuan demostratif merupakan yang diperoleh melalui pemikiran tentang hubungan antara idea-idea. Kedua pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran tentang matter of fact yang disebut moral.
c) Prinsip–Prinsip Empirisme
Prinsip dasar yang telah ditetapkan Hume adalah “Segala gagasan sederhana kita awalnya dihasilkan dari kesan sederhana yang berkaitan dengan gagasan itu dan benar-benar mewakili keberadaannya” (Lavine, 1984: 145). Cara Hume mengungkapkan penjelasan tersebut dengan benar-benar mengkritik untuk menganalisis dan menjatuhkan berbagai gagasan. Hal ini juga disebut sebagai bola penghacurnya yang paling kuat. Hume mempertanyakan dari kesan apa gagasan ini muncul?
Hume kemudian melihat ide pemikiran mengenai zat yang dipakai Descrates, Hume bertanya dari kesan apa ide pemikiran itu muncul? Dengan pertanyaan ini maka akan didapati jawaban bahwa tidak mungkin dari kesan atas zat yang bersangkutan, namun hanyalah kesan ciri yang kita rasakan, seperti ukuran, bentuk dan warna. Jadi ide pemikiran zat ini merupakan cirri-ciri yang kita alami. Oleh karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa zat itu tidak ada. Kita bias tahu bahwa sesuatu itu ada apabila kita mempunyai kesan atas sesuatu tersebut. Jadi Hume telah menjatuhkan pertanyaan bahwa zat itu ada dengan menunjukan bahwa kita tidak memiliki kesan atas zat fisik.
Aturannya sederhana jika tidak ada kesan, maka tidak ada gagasan. Jika tidak ada kesan gagasan itu tanpa makna. Jadi aturan empirisme Hume tidak hanya uji kelayakan gagasan kita sebagai pengetahuan namun juga uji atas makna gagasan kita.


d) Penggabungan Gagasan
Keterkaitan kesatuan di antara gagasan-gagasan tersebut, ciri-ciri yang berkaitan, dimana satu gagasan memunculkn gagasan yang lainnya. Dengan demikian pasti ada prinsip universal dalam pemikiran kita, bukan sebagai kebutuhan, namun sebagai kekuatan untuk menggabungkan beberapa gagasan dengan cara tertentu. Hume menggambarkan kekuatan ini sebagai “kekuatan lembut, yang pasti bertahan”. Gabungan gagasan kita berdasar pada tiga ciri gagasan, yang cenderung membawa pikiran kita dai suatu gagasan ke gagasan yang lain, mengaitkan atau menggabungkan satu gagasan dengan gagasan yang lain. Lavine (1984: 146-147) mengatakan Hume membuat tiga ciri sebagi basis dari tiga hukum penggabungan gagasan.
Hukum pertama adalah gagasan tergabung atau terkait oleh kemiripan atar-gagasan. Hume memberi contoh “sebuah lukisan dengan mudah membawa pikiran kita ke obyek aslinya”.
Hukum kedua adalah kedekatan satu gagasan dengan gagasan yang lainnya dalam hal ruang dan waktu. Pikiran kita cenderung menggabungkan satu gagasan dengan gagasan yang lain secara fisik atau jasmaniah tergabung. Hume mencotohkan “menyebutkan satu apartemen dalam sebuah gedung umunya akan membawa pikiran kita mengenai apartemen lainya.
Hokum ketiga adalah sebab-akibat, pikiran kita tampaknya dipaksa untuk mengaitkan suatu sebab dengan akibat yang dibawanya. Bertrand (1946: 880) menyatakan skeptisme Hume semata didasarkan pada penolakannya atas prinsip induksi yang diterapkan pada hukum sebab akibat. Misalnya jika kita memikirkan luka, kita tidak jarang sekali bias mencegah diri kita memikirkan rasa sakit yang mengikutinya.
Hukum penggabungan gagasan merupakan bagian dari strategi bola penghancurnya dan menggunakan hukum penggabungan gagasan dengan sebab akibat untuk menjatuhkan pertanyaan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan ilmiah sehingga sebab tertentu secara otomatis menghasilkan akibat tertentu.
Hume berkata bahwa gagasan atomis kita, yang berkaitan dengan kesan, terkait atau tergabung dengan menggunakan tiga hukum penggabungan, yang merupakan kekuatan yang lembut yang memaksa kita menggabungkan satu gagasan dengan gagasan lainnya. Tiga hukum ini berlaku pada segala pemikiran kita, juga termasuk pemikiran ilmiah kita. Ketiga hukum ini akan memberikan dorongan terkuat untuk mengaitkan satu ide dengan ide lainnya adalah sebab dan akibat (Lavine, 1984: 147). Selanjutnya Hume menyatakan bahwa segala sesuatu yang bias kita bahwa segala sesuatu yang bias kita katakana mengenai suatu obyek, mengenai masalah fakta, di luar mengenai kesan seketika kita atas apa yang kita lihat dan sentuh, haruslah didasarkan pada hubungan sebab akibat. Semua pemikiran kita mengenai persoalan fakta merupakan pemikiran kausal. Dan pemikiran kita yang penting mengenai persoalan fakta merupakan pemikiran ilmiah, dengan hukum alam kausalnya.
Ketiga hokum ini mencirikan semua kerja mental kita, termasuk penalaran kita, dan secara khusus hokum tersebut mengkarakteistikkan gagasan ilmiah kita. Diantarar ketiga hokum tersebut yang merupakan penghubung yang paling kuat diantara gagasan.
c. Analisis terhadap Kausalitas (Sebab-Akibat)
Selanjutnya, Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena sejak lama dalam filsafat, diyakini adanya hubungan sebab akibat yang terjadi di alam ini ( Budiman, 2004: 89). Semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat. Dengan sarana relasi itu, kita dapat melampaui bukti dari memori dan indera kita. Hume menegaskan bahwa pendapat menegenai hubungan itu tidak benar dan didasrkan pada sebuah kebinggungan belaka. Segala peristiwa yang kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, tapi hubungan tidak boleh disebut kausalitas.
Hume menjelaskan bahwa pendapat tentang sebab-akibat (kausalitas) itu merupakan suatu hubungan atar idea (relation of ideas). Ide kausalitas juga tidak dapat diperoleh melalui persepsi (A. Tafsir: 2001: 184). Hume menegaskan bahwa ketika kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat antara dua hal atau lebih, maka biasanya kita memaksudkannya dengan arti bahwa yang satu, secara langsung atau tidak langsung bersebelahan dengan yang lain, dan bahwa yang satu, yang kita beri tanda sebagai sebab adalah dalam beberapa hal, secara temporer mendahului yang lain. Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini tampak tidak mencukupi bagi munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat dipahami bahwa X dapat bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa menjadi sebab dari Y, maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume beranggapan bahwa kita menambahkan sebuah ide jika ada hubungan tetap antara X dan Y di dalam situasi di mana X dikatakan sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau hal pasti memiliki suatu sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka pemahaman biasa tentang relasi sebab dan akibat tidak akan muncul. Dengan demikian, jika suatu gejala tertentu disusul oleh gejala lain, dengan sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang disinari matahari selalu panas. Kita menyimpulkan batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala, tetapi tidak memperlihatkan urutan sebab-akibat (Harun Hadi Wijaya, 2000: 55).
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu bukanlah yang dapat diamati, bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam air yang direbus. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu.
Menurut Hume, pengalamanlah yang memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya, artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian (A. Tafsir, 2001: 185).
Hume membuang segala bentuk kausalitas dalam etikanya (Harun Hadi Wijaya, 2000: 56), Pernyataan Hume mengenai empirisme penggabungan dengan pandangan Hutcheson mengenai moralitas yang bersumber dari sentiment atau perasaan. Hal ini membaa Hume pada pemikiran kontroversialnya bahwa hukum ilmu pengetahuan kita hanya bersumber pada perasaan. Kemudian Hume mengemukakan gebrakannya ”Hukum ilmu pengetahuan didasarkan bukan pada apa-apa melainkan pada kesan indra yang dikaitkan dengan hukum psikologi penggabungan dan perasaan kekuatn yang digunakan.
Hukum ilmiah tidak berarti apa-apa melainkan penggabungan psikologis berbagai gagasan. Sumbangan terbesa Hume dalam filsafat dan pengaruh terbesarnya adalah analisisnya mengenai hubungan sebab-akibat. Ini merupakan karya besarnya menghacurkan pemikiran – pemikiran lain.
d. Filsafat Hume atas Agama
1. Kritik Keras Hume atas Bukti Rasional Mengenai Tuhan.
Hume menyangkal bukti klasik keberadaan Tuhan yang menggunakan akal penalaran. Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan Descartes, dua bukti pertama adalah bukti sebab-akibat, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apa pun yang bisa meragukan, namun bagi Hume sangatlah tidak berarti karena kita tidak mempunyai kesan indra mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apa pun mengenai benda yang berfikir sebagai akibat.
Steven M. Cahn (2009: 272) menyatakan bahwa menurut Hume sepanjang sejarah tidak pernah ada beberapa orang yang menyaksikan adanya mukjizat mengenai adannya Tuhan. Semuanya adalah kebohongan, karena menurutnya timbulnya keyakinan bahwa Tuhan itu ada adalah karena manusia merasa takut dan gelisah kemudian mengada-adakan dan menyakininya.
Bukti ketiga Descartes atas keberadaan Tuhan pada Meditasinya yang kelima, menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan oleh Saint Anselm di abad XI yang menngungkapkan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh itu memiliki kesempurnaan pada kewujudan-Nya. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama mengingatkan atas filsuf empirisme seperti Locke tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Kemudian Hume menjawabnya dengan uji empirisme atas gagasan, jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan tidaklah bermakna, tidak berarti. “Gagasan kita tidak lebih dari pengalaman kita, kita tidak memiliki pengalaman akan ciri-ciri akhirat. Aku harus menyimpulkan silogismeku. Anda bias menarik kesimpulan sendiri.” pernyataan Hume. Maka bukti adanya Tuhan sebagaimana pendapat Descartes telah diruntuhkan.
Hume juga mengkritik ajaran tentang keabadian atau immortalitas, yang percaya akan adanya keabadian sehingga keabadian menjadi dasar sistem moral (Budiman, 2004: 91). Pendapat ini sepertinya karena Hume beranggapan bahwa manusia bi sa mewujudkan cita-citanya tentang hidup sosial tanpa menunggu akhirat.
2. Kritik Hume atas Deisme
Bukti mengenai Tuhan dengan menggunakan akal yang berlandaskan pada keteraturan, harmoni, dan keindahan yang ditemukan di seluruh alam ini, merupakan bukti keberadaan Tuhan yang paling diterima di abad pencerahan. Deisme merupakan keyakinan utama doktrin Kristen bahwa Tuhan itu ada sebagai satu-satunya sumber rancangan dan pengetahuan yang harmonis atas seluruh bagian alam semesta ini. Sebuah pandangan religious yang hanya berlandaskan akal pemikiran, menyangkal kenabian dan mukjizat, konsep Tuhan dibuat sejalan dengan akal pikiran dan ilmu pengetahuan.
Hume meruntuhan doktrin Deisme dengan menggunakan bentuk dialog Plato dalam Dialogues Concerning Natural religion. Suara Hume tertuang dalam Philo yang Skeptis yang mengungkapkan kesan dari indra kita adalah landasan untuk semua pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam ini akan berlanjut selamanya.
Hume menambahkan pertanyaan apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dngan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Ini merupakan kritik paling keras terhadap agama Deisme di Masa Pencerahan.
3. Kritik atas keyakinan pada Mukjizat
Hume juga mengkritik adanya Mukjizat dalam esainya “Of Miracles” tahun 1748. Mukjizat menurut Hume merupakan pelanggaran hukum alam oleh pihak akhirat, zat supranatural. Mukjizat telah menentang pengalaman manusia, pengetahuan ilmiah, semua keteraturan dan konjugsi konstan kesan manusia. Tidak ada mukjizat yang bias menjadi landasan yang layak untuk agama karena sangat bertentangan dengan akal manusia.
F. Budi Hardiman (2004: 92) menyatakan bahwa Hume melontarkan lima argumen yang untuk mengkritik mengenai mukjizat ini. Pertama Hume mengatakan sepanjang sejarah belum pernah ada mukjizat yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua kecenderungan manusia mempercayai peristiwa luar biasa tapi tidak membuktikan kebenaran mukjizat. Ketiga kejadian mukjizat terjadi ketika manusia belum maju dalam ilmu pengetahuan. Keempat segala wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas mukjizatnya masing-masing. Kelima semakin ilmiah penelitian historis, semakin ragulah si sejarawan terhadap peristiwa mukjizat.
D. KESIMPULAN
Teori Hume ini meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian mendorong bagi kita, bahwa untuk menemukan sebuah pengetahuan kita memerlukan pengalaman kita. Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan sebuah kebenaran akan pengetahuan itu memerlukan penelitian dilapangan, observasi, percobaan yang mana dengan cara-cara seperti itulah merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia.
Selanjutnya, ketika Hume menerapkan teori empirismenya dalam mengkaji eksistensi Tuhan, dia mengungkapkan bahwa Tuhan yang menurut orang rasionalisme memang sudah ada dalam alam bawaan sebenarnya tidak nyata. Menurut Hume, pengetahuan akan Tuhan merupakan sebuah hal yang tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya kesan pengalaman yang kita rasakan akan Tuhan. Persoalan Tuhan merupakan persoalan yang berkaitan dengan metafisika. Pembahasan dalam metafisika tidak bisa didekati dengan pembuktian menuntut adanya suatu yang empiris dan nyata. Jauh dari kritik destruktif terhadap metafisika dan teologi, Hume memberi analisis yang kontruktif yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru sambil membuat kita sadar akan kebutuhan mendasarkan teori kita pada fakta pengalaman. Hume menawarkan kesempatan dan tantangan untuk membangun teori sendiri dengan mencoba sedekat mungkin dengan pengalaman.
DAFTAR PUSTAKA

Cahn, Steven M., 2009, Exploring Philosophy An Introductory Anthologi, New York: Oxford University Press.
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
M. A. W. Brouwer, dan M. P. Haryadi, 1986, Sejarah Filsafat Modern dan Sezaman, Bandung: Pt. Alumni.
Poedjawijatna, 1997, Pembimbing ke Arah Filsafat, cet. 10, Jakarta: Rineke Cipta.
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, terj. Saut Pasaribu, 20002, cet. 1, Yogyakarta: Bentang.
Robert Cummins and David Owen, 1999, Central Reading in the of Modern Philosophy: Descartes to Kant, Canada: Wadsworth Publishing Company, 2nd ed.
Russell, Bertrand, 1946, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Time to the Present Day, terj. Sigit Jatmiko, dkk., 2002,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristotele sampai Derrida, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Soff, Louis O Katt. 1996, Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Cet. 7. Yogyakarta: TiaraWacana.
T.Z. Lavine, 1984, From Socrates to Sartre: The Philosophic Quest, Terj. Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama, 2002, Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Tafsir, Ahmad. 2003, Flsafat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Copra). Cet. 11. Bandung: Rosda Karya.
Wijaya, Harun Hadi, 2000, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, cet.16.
http://amirulbahri.wordpress.com/2010/10/17/empirisme-david-hume/

Sabtu, 10 Juli 2010

(Abaikan informasi ini, jika kalian telah lulus SMU & tidak melanjutkan ke PT, telah lulus kuliah, tidak melanjutkan beasiswa/telah mengirim pengajuan perpanjangan beasiswa).

Dalam rangka melanjutkan Program Beasiswa YAAB-ORBIT periode 2009/2010 yang telah berakhir pada bulan Juni 2010, YAAB-ORBIT Pusat memberikan kesempatan bagi ANBIM YAAB-ORBIT untuk mengajukan perpanjangan beasiswa untuk periode 2010/2011.

Persyaratan perpanjangan beasiswa YAAB-ORBIT periode 2010/2011 adalah sbb:
1) Formulir yang telah diisi lengkap dan disyahkan/di-stempel oleh pihak sekolah/kampus (Bagi ANBIM SMU/Sederajat yang langsung melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi, formulir boleh tanpa disyahkan/di-stempel oleh pihak Perguruan Tinggi)
2) Surat keterangan tidak mampu minimal dari Rt/Rw (terbaru)
3) Slip gaji/pensiun TERBARU (jika orangtua PNS/Karyawan Swasta/buruh Pabrik) atau surat keterangan penghasilan orangtua (terbaru) yang diketahui oleh RT (jika orangtua buruh harian lepas/petani/wiraswasta dll).
4) Foto copy KTP (kartu pelajar/KTM, jika belum memiliki KTP)
5) Foto copy KK (kartu keluarga)
6) Foto terbaru ukuran 3 x 4 sebanyak 1 lembar (ditempel di Formulir bagian muka)
7) Data-data yang dapat menjadi penunjang antara lain :
a. Tanda bukti diterima di Perguruan Tinggi (lembar pengumuman dari PT/koran)
b. Foto copy sertifikat pelatihan/piagam penghargaan (terbaru 2009/2010)
c. Foto copy surat tunggakan SPP dari sekolah/kampus (jika ada tunggakan di sekolah/PT)
d. Foto copy surat kematian orangtua (Jika orangtua sudah wafat)
e. Permohonan berisi tentang data diri, kondisi ekonomi keluarga dan alasan pengajuan beasiswa.

Proses seleksi penerima beasiswa YAAB-ORBIT Periode 2010/2011 dilakukan oleh:
1) Team seleksi Perwakilan YAAB-ORBIT (waktu dan tempat seleksi ditentukan oleh perwakilan dimana ANBIM beasiswa menjalani studi)
2) Team seleksi YAAB-ORBIT Pusat pada bulan September-Oktober 2010

Jika ada yang kurang jelas atau perlu dipertanyakan kalian dapat menghubungi :
1) Perwakilan YAAB-ORBIT daerah dimana ANBIM menjalani studi
atau
2) Sekretariat YAAB-ORBIT Pusat
d.a : Gd. The Habibie Center
Jl. Kemang Selatan No. 98 Jakarta 12560
Telp/Fax : (021) 788 4 6927 atau
HP : (021) 684 9 5690 / 0856 8420311 (Mba Ibet)
catatan : maaf tidak membalas SMS

Email : yaaborbitpusat@yahoo.com
Milis : yaaborbitpusat@yahoogroups.com
FaceBook : yaaborbitpusat@yahoo.com


Catatan :

1) Formulir serta persyaratan pengajuan perpanjangan beasiswa bagi ANBIM YAAB-ORBIT yang menjalani studi di wilayah Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, NTT, Maluku, Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bogor & Banten dikirim langsung ke alamat sekretariat YAAB-ORBT Pusat paling lambat 31 Agustus 2010.

2) Bagi ANBIM yang di wilayah tempat studinya tidak disebutkan pada butir 1 di atas, harap segera menghubungi perwakilan YAAB-ORBIT setempat untuk memperoleh informasi perpanjangan beasiswa 2010/2011 atau menghubungi sekretariat YAAB-ORBIT Pusat.

3. Bagi ANBIM SMU/Sederajat yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi, formulir & persyaratannya paling lambat YAAB-ORBIT Pusat terima 1 (satu) minggu setelah pengumuman kelulusan/diterima di Perguruan Tinggi yang dipilih dan juga mengirimkan informasi ke Perwakilan YAAB-ORBIT dimana kamu akan menjalani studi.
RASIONALISME IBNU RUSYD DALAM
ILMU PENGETAHUAN


A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan hingga puncaknya berakibat pada perkembangan teknologi yang begitu luar biasa, tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahirnya dan terbentuknya ilmu pengetahuan itu sendiri. Lahirnya Ilmu pengetahuan berakar dari filsafat, pengaruh filsafat terhadap lahirnya ilmu pengetahuan membuka jalan berpikir menemukan kebenaran.
Sedangkan filsafat Islam sendiri lebih dominan di pengaruhi oleh filsafat Yunani dan diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti fisika, kedokteran dan astronomi.
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd.
B. Biografi Singkat Ibu Rusyd
Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu Rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.
Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles. Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentar terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah. Karya – karya Ibnu Rusyd Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih), Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran), Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat).
C. Pemikiran Ibnu Rusyd Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan lahir dari filsafat, filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan karena berawal dari berfilsaf para ilmuwan menemukan berbagai ilmu pengetahuan. Maka, penulis lebih menganalisis dan menganalogikan bahwa pengertian, hukum, dan klasifikasi filsafat menurut Ibnu rusyd juga berdampak pada ilmu pengetahuan secara umum.
1. Hukum mempelajari filsafat
Mempelajari filsafat menurut ibnu rusyd adalah suatu perintah yang diwajibkan oleh agama dan ditetapkan oleh syari`at. Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.
Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
2. Konsep Ilmu pengetahuan dalam filsafat ibnu rusyd
Ibnu rusyd membagi jiwa rasional yaitu akal, sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan. Manusia memperoleh pengetahuan lewat rasionya yang membawanya pada pengetahuan yang universal, disamping menggunakan perasaan dan imajinasi. Akal mencerap gagasan, konsep yang bersifat universal dan hakiki. Jadi pengetahuan adalah hasil berfikir dari akal manusia yang tidak menafikan keberadaan wahyu Allah untuk menyimpulkannya.
3. Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
• Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
• Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
• Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.
D. Penutup
Pemikiran dan faham rasionalisme yang diajarkan oleh ibnu ruyd diakui atau tidak sangat berdampak pada perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu. Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang fiqh Islam.