Sabtu, 10 Juli 2010

Filsafat

Asal Usul Filsafat sebelum Masehi
Manusia sebagai makhluk hidup paling sempurna dibanding makhluk lainnya karena memiliki akal. Akal merupakan sarana berfikir untuk memperoleh kebenaran dan menciptakan khasanah ilmu. Para pelaku demitologisasi yang terawal di Yunani Kuno ialah para filsuf yang hidup pada jangka waktu antara Thales dan Aristoteles. Para filsuf itu dianggap sebagai filsuf-filsuf “prasokrates” karena mereka hidup sebelum masa seorang filsuf yang sangat berpengaruh yang bernama Sokrates. Salah satu kepedulian utama filsuf “prasokrates” adalah memerikan hakikat “realitas terdalam” (ultimate reality).
Di antara para pelaku demitologisasi terawal ini terdapat empat orang yang pandangannya pantas mendapat sebutan istimewa. Masing-masing berkenaan dengan salah satu dari empat “anasir” tradisional (atau sesuatu yang menyerupainya) karena betul-betul merupakan realitas terdalam. Thales sendiri berpendapat bahwa segala sesuatu pada akhirnya bisa dijadikan air. Anaximenes (kira-kira 585-528 S.M.) membantah dengan mengklaim bahwa anasir yang paling dasar itu sebenarnya udara. Tak lama sesudah itu, Heraklitus (karyanya kira-kira muncul pada 500-480 S.M.), yang memiliki gagasan yang menarik mengenai logika lawanan, menyarankan agar api merupakan anasir yang paling tepat untuk memaparkan kompleks-bangunan metafisis dasar. Akhirnya, Demokritus (kira-kira 460-371 S.M.), yang namanya sangat mirip dengan suatu ideologi politik modern populer, membela kondisi “atomisme” terawal, yang memandang anasir dasar sebagai “yang-berada” (being atau what is) saja. Dengan kata ini ia memaksudkannya sebagai sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang kita maksudkan sebagai “zat atau bahan” (matter), yang pada garis besarnya sekurang-kurangnya menyiratkan kecocokan dengan anasir bumi, karena bumi itu mengacu bukan pada tanah belaka, melainkan pada semua zat padat. Jawaban-jawaban awal terhadap pertanyaan tentang kenyataan hakiki dikemukakan oleh Anaximander (kira-kira 610-546 S.M.), yang berpendapat bahwa di antara empat anasir tersebut tidak ada yang bisa diakui dengan tepat sebagai unsur dasar, karena anasir tersebut saling berlawanan (seperti basah dan kering, panas dan dingin). Jika satu unsur itu “tanpa tapal batas”, maka ini akan merontokkan semua anasir lainnya. Ia berpendapat, sebagaimana yang ditunjukkan di sini, bahwa di pusat salib tersebut, pengakuan kebutuhan atas keempat anasir itu harus dianut bersamaan dengan keseimbangan yang kreatif. Pandangan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Empedokles (kira-kira 495-435 S.M.), yang mengakui keempat anasir tersebut sebagai realitas-realitas dasar, yang menjelaskan keseimbangannya karena dianut bersama-sama dengan daya yang berlawanan antara “cinta” (philia) dan “cekcok” (neikos).
Benjamin Schwartz dalam bukunya ”The World of Thought in Ancient China” menyimpulkan bahwa Yunani tidak dapat dikatakan mengawali pemikiran rasional dan logika, karena hal serupa dapat ditemui dalam sejarah intelektual China pada sekitar zaman yang sama. Hal ini menjadi sangat masuk akal, mengingat terkenalnya The Silk Road di masa lalu, yang merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan China, Mesir hingga Eropa. Tentu saja dalam hal ini tidak hanya barang dagangan yang dipertukarkan, namun juga kebudayaan, tradisi-tradisi keilmuan dan pengetahuan masing-masing peradaban. Sebagai intermezzo, kita juga telah sangat memahami, bahwa tradisi minum teh yang sangat terkenal di Jepang hingga saat ini sebenarnya mereka pelajari dari bangsa China. Karena itu, Adi Setia memaparkan, bahwa penguasaan intelektual, politik dan ekonomi Eropa dalam sejarah dunia modern hanya bisa dijelaskan secara rasional dan tepat apabila dirujukkan kepada pengaruh antar benua (intercontinental influences) yang menjalar dari perkembangan tertentu dalam peradaban-peradaban bertetangga, bukan akibat unsur-unsur internal semata.
Prof. George GM. James dalam bukunya ”Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy” memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras, Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir. Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya buah pikiran itu dibawa ke Yunani dan ditulis kembali secara besar-besaran dalam bahasa Yunani, tanpa menyatakan sumber asalnya secara terus-terang dan terperinci. Kita tentu telah mengetahui bahwa tradisi mencantumkan sumber secara terperinci baru berkembang setelah ulama-ulama Muslim dengan sangat hati-hati dan teliti mencantumkan seluruh narasumber dan sanad dari setiap hadits yang dituliskan. Dalam bukunya ini, Prof. James bahkan meringkas seluruh doktrin dalam filsafat Yunani yang setelah ditelusuri asal-usulnya, terdapat dalam batu prasasti Teologi Memphis dari abad ke-4 SM, jauh sebelum kelahiran Thales dan filsuf semasanya.
Selain itu, Martin Bernal dalam bukunya Black Athena, menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir. Bahasa Yunani, walaupun termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa Kan’an dan bahasa Mesir. Peradaban Yunani juga banyak terpengaruh oleh peradaban Mesir dan Funesia, akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu. George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia, maka pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat sejati yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Sarton menyatakan bahwa sains Yunani sebenarnya lebih merupakan suatu ’pemulihan’ daripada ’penciptaan’.
Lebih jauh, melalui pengamatan akan kaidah sejarah peradaban dunia secara menyeluruh, dapat kita ambil suatu pelajaran bahwa kemunculan-kemunculan filsafat dan sains di dalam setiap peradaban hanya dapat terjadi melalui suatu kesinambungan intelektual (intellectual continuity) dalam rentang masa yang panjang. Konsekuensinya, tradisi pengalaman amaliah (empiris) sebagai dasar pemikiran spekulatif Thales semestinya sudah ada dalam waktu yang cukup lama. Namun, sejarah mencatat bahwa zaman sebelum Thales adalah the Dark Ages of the Greeks yang dipenuhi dengan berbagai bencana alam dan penjajahan.
Garis pembagi tebal dalam filsafat Yunani kuno–garis yang menempatkan para filsuf yang memiliki pandangan yang terlihat jauh dan asing di satu sisi dan para filsuf yang mempunyai pandangan yang dengan jelas tampak lebih relevan dengan urusan filosofis kontemporer di sisi lain terdapat dalam bentuk seorang filsuf saja yang sepengetahuan kita tidak pernah menulis buku. Filsuf tersebut, Sokrates (470-399 S.M.), memberi penafsiran yang benar-benar baru mengenai tugas filosofis, yang implikasi penuhnya merentang sampai duaribu tahun. Kita mengetahui ide dan kehidupan Sokrates terutama melalui tulisan-tulisan seorang pengikut dekatnya, Plato (427-347 S.M.). Bersama-sama dengan murid cemerlang Plato, Aristoteles (384-322 S.M.), orang-orang ini merupakan inti tradisi filsafat Yunani kuno. Meskipun mengingat-ingat kepastian tahun kehidupan mereka tidak penting, urutan masa kehidupan mereka perlu diketahui. Ini mengingatkan kita bahwa Sokrates sudah agak tua manakala ia mempengaruhi Plato muda, dan bahwa ia meninggal sebelum Aristoteles lahir
Kehidupan Sokrates tidak banyak diketahui. Beberapa ilmuwan bahkan mempertanyakan apakah sesungguhnya orang tersebut pernah hidup. Namun demi tujuan kita, kita dapat mengabaikan perdebatan itu karena, walaupun barangkali tokoh itu hanya rekaan Plato dan orang-orang sezamannya, tokoh tersebut telah berfungsi sebagai “mitos” yang menuntun perkembangan filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Sokrates ialah seorang pemikir sejati yang mempraktekkan ucapannya. Sekalipun ia orang Athena yang berstatus tinggi, ia kadangkala sudi menanggalkan kedudukannya di tengah kehidupannya untuk menjalani hidup dengan “sangat miskin” sebagai seorang filsuf. Selama masa itu ia memanfaatkan waktunya untuk menjelajahi kota Athena dengan mengajak orang-orang untuk bercakap-cakap tentang berbagai persoalan. Ia sering bentrok dengan kaum Sofis, para filsuf profesional populer yang melahirkan “kealiman” mereka (dengan ciri khas, penelitian secermat-cermatnya tanpa penerapan semestawi sama sekali) demi uang. Kendatipun ia bersikeras bahwa ia bukan guru, terdapat sekelompok pemuda (salah satunya ialah Plato) yang suka berkerumun mengelilinginya, yang tertarik untuk belajar seni berfilsafat dengan cara baru itu.
Jalan karir Sokrates yang paling signifikan, sebagaimana yang dicatat oleh Plato dalam Apology-nya, bermula ketika kawan lamanya, Chaerefon, bertanya kepada peramal Delfi apakah ada orang yang lebih alim daripada Sokrates. Tatkala Sokrates mendengar bahwa dukun tersebut menjawab “tidak”, ia merasa dihadapkan dengan suatu teka-teki yang harus dipecahkan, karena ia yakin [dirinya] tidak pantas disebut alim. Oleh sebab itu, ia bepergian mewawancarai semua orang yang memiliki reputasi alim, seperti politisi, pujangga, dan cendekiawan, dengan harapan belajar dari mereka tentang makna kealiman sejati. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjelaskan “kealiman” mereka sendiri senantiasa patah oleh pertanyaan Sokrates yang bertubi-tubi. Mereka tak hanya tak mampu memaparkan dalam hal apa mereka “alim”. Sokrates pun di depan umum berupaya “membuktikan” bahwa sesungguhnya mereka tidak alim. Secara alamiah, dengan mempertanyakan semua mitos tradisional yang dianut oleh hartawan dan tokoh di kalangan masyarakatnya, ia mengail musuh banyak sekali! Namun bagi Sokrates, itu tidak penting karena dengan melakukannya ia bisa menemukan “bahwa orang-orang yang berreputasi tertinggi [perihal kealiman mereka] hampir seluruhnya kurang alim, sedangkan kualifikasi kecerdasan-praktis orang-orang lain yang disangka lebih rendah [justru] jauh lebih baik”.
Akhirnya Sokrates menyimpulkan bahwa peramal itu memang mengetengahkan suatu teka-teki, tetapi solusinya merupakan sebutir pil pahit bagi orang-orang yang perlu membela kemuliaan-kemuliaan kealiman manusia demi peran mereka di masyarakat:
[Some people have described] me as a professor of wisdom…. But the truth of the matter … is pretty certainly this, that real wisdom is the property of God, and this oracle is his way of telling us that human wisdom has little or no value. It seems to me that he is not referring literally to Socrates, but has merely taken my name as an example, as if he would say to us, The wisest of you men is he who has realized, like Socrates, that in respect of wisdom he is really worthless.
([Beberapa orang menggambarkan bahwa] saya ialah guru-besar kealiman…. Namun yang benar … tentu saja bahwa kealiman sejati merupakan sifat Tuhan dan bahwa peramal itu bermaksud memberitahu kita bahwa kealiman manusia tidak atau kurang bernilai. Tampak oleh saya bahwa ia tidak mengacu pada Sokrates secara harfiah, tetapi hanya mencomot nama saya sebagai contoh, seakan-akan ia berujar kepada kita, “Yang paling alim di antara kalian ialah orang yang, seperti Sokrates, mengakui bahwa dalam hal kealiman ia sebenarnya kurang berharga.”)
Memahami implikasi wawasan ini sangat penting jika kita hendak memahami perkembangan filsafat, dan terutama metafisika, dalam duaribu tahun sepeninggalnya. Ini karena dalam pernyataan itu Sokrates dengan jelas menyatakan kriteria pertama untuk menjadi filsuf yang baik.
Harga yang harus dibayar oleh Sokrates demi wawasan tersebut adalah nyawanya. Para warganegara yang berpengaruh di Athena mengajukannya ke sidang pengadilan, menuduh dia “merusak pikiran pemuda dan memyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara”. Selama pengadilannya, ia membela diri bukan dengan bermohon belas kasih atau berjanji untuk berperilaku secara lebih beradab, melainkan dengan berpidato secara terbuka dan tajam di depan para penuduhnya. Ia menjelaskan bagaimana kehidupan filosofis merupakan kehidupan yang menghargai kematian. Filsuf ialah orang yang mentaati perintah prasasti pada kuil di Delfi, “Kenalilah dirimu sendiri“. Orang yang tidak menerima tantangan ini berada dalam situasi yang menyedihkan, mengingat “kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga”. Memang, Sokrates jelas-jelas menghargai kehidupan yang berperiksa-diri sebagai kehidupan yang mengabdi kepada Tuhan: meskipun ia sengaja menumbuhkan keragu-raguan terhadap perkembangan dewa-dewa dalam tradisi Yunani, Sokrates sendiri menghargai filsafat sebagai kejuruan yang berilham ilahi. Hanya dengan menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut mengantar masyarakat yang laik:
For I spend all my time going about trying to persuade you, young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for your possessions, but for the highest welfare of your souls … Wealth does not bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other blessing, both to the individual and to the state.
(Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan tertinggi jiwa kalian … Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran], tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara.)
Pernyataan-pernyataan sedemikian itu tentu saja bagaikan tamparan di wajah mereka yang ia ceramahi, yaitu orang-orang yang sebagian besarnya memandang Sokrates selaku (mantan) teman karena ia sendiri pernah menjadi anggota mahkamah tersebut. Jadi, tidaklah begitu mengejutkan setelah suara juri dihitung Sokrates divonis mati (sekalipun dengan selisih yang cukup kecil, 281 lawan 220). Namun menghadapi kekejaman putusan itu, Sokrates menerimanya dengan ketenangan yang tulus, dengan memprediksi bahwa jumlah orang yang mau mempersoalkan status quo–yakni jumlah.
Peradaban-peradaban dunia, baik itu peradaban Yunani, Islam, Kristen, Barat dan Modern sebenarnya memiliki dua faktor dasar yang mempengaruhi perkembangannya, yaitu faktor internal yang menyebabkan perkembangan internal dan faktor eksternal yang mendasari perkembangan eksternalnya. Dalam peradaban Yunani, worldview Yunani Kuno dibentuk melalui penggabungan unsur-unsur asli Indo-Eropa dan unsur-unsur non-Eropa, yaitu Mesir dan Funesia yang pernah menjajahnya. Hal ini dilanjutkan dengan masa kegelapan yang baru pulih sekitar tahun 700 SM, saat hubungan dengan Mesir dan Babilonia diperbaharui. Bangsa Yunani banyak marantau dan menyerap ciri-ciri kebudayaan Mesir-Babilonia yang sedikit banyak mengakibatkan pemikiran Yunani menjadi lebih rasional. Sampai pada masa Thales, pemikiran rasional bangsa Yunani telah cukup matang untuk dapat menghargai nilai pencapaian pemikiran rasional dalam peradaban-peradaban kuno yang bertetangga dengannya dan jauh lebih maju dalam pencapaian filsafat dan sains, termasuk juga pencapaian teknologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar